Hiruk-pikuk politik di negeri ini masih menyimpan lubang hitam yang besar bernama money politics. Sebuah lingkaran setan masih membungkam politik Indonesia. Sederetan politisi mulai dari Abdul Hadi Jamal, Noor Adenan Razak, Saleh Jasit hingga Al Amin Nasution menyadarkan kita bahwa paradigma politik lama masih kuat mencengkeram.
Mindset politik lama mendudukkan rakyat hanya sebagai objek. Rakyat dirangkul saat musim pemilu tiba, tapi ia hanya duduk sebagai angka dan data saat penghitungan suara, lalu terlupakan setelahnya. Emosi masyarakat diaduk-aduk untuk kemudian dimobilisasi, ditarik kesana-kemari hanya untuk memuaskan ego para pemain politik. Bagi rakyat politik hanya hadir saat pemilu. Karena pesta rayuan politik hanya terjadi saat pemilu, setelahnya rakyat kembali pilu seiring menguapnya janji-janji palsu.
“Terjun ke dunia politik dibutuhkan modal uang yang besar” adalah ciri khas minset money politic. Mindset ini mengandaikan besarnya suara yang bakal direngkuh adalah sebanding dengan uang yang dikeluarkan. Alasan logikanya dengan banyak uang ia bisa bebas beriklan, membuat ribuan poster, baliho, umbul-umbul, membeli slot dan space iklan di TV, radio, koran, majalah juga bisa bagi-bagi angpau ‘serangan fajar’. Jadi persaingan politik dalam pemilu adalah persaingan dalam ‘membeli’suara rakyat.
Tidak heran jikalau setelah terpilih, gaji yang tinggipun seringkali tidak cukup untuk menutup ‘hutang biaya kampanye’. Bahkan untuk mempertahankan ‘kursi’ menjelang pemilu sederetan politisi harus melakukan korupsi. Money politic menjadi lingkaran setan yang menjerat dan berurat akar dalam perpolitikan di negeri ini.
Dalam kehidupan masyarakat awam politik hanya hadir saat pemilu. Politik seperti tidak terhubung dengan kehidupan keseharian warga negara. Dan perilaku politik yang tidak pantas membuat rakyat semakin apatis terhadap politik. Apatisme politik tertangkap dari maraknya golput. Bahkan sebuah blog janganbikinmalu2009 mewadahi kejengkelan dan kebingungan masyarakat cyber kita terhadap perilaku politik di Indonesia.
Vox populi vox dei. Sudah semestinya politik itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Saya rasa ini bukan keadaan ideal melainkan sudah menjadi keharusan. Masyarakat Indonesia bukanlah orang-orang bodoh yang bisa dibodohi terus-terusan. Kita memasuki era keterbukaan, dimana masyarakat kini adalah pewarta-pewarta yang bisa menangkap basah ‘kenakalan’ elit negara kapan saja, dimana saja.
Budaya politik di Indonesia harus berubah. Bila elit politik tidak mau merubah perilaku dan budaya politiknya, bisa jadi mereka akan dipaksa berubah oleh rakyat. Dan bila itu yang terjadi, tidak terbayangkan kegemparan dan kengerian yang bakal terjadi. Rakyat yang bersatu tidak bisa dikalahkan, kejadian tahun 1998 telah membuktikan semua itu. Kekuasaan sejati ada ditangan rakyat.
Untuk merubah budaya politik Indonesia yang pertama harus berubah adalah mindset politik. Jujur saja kalau bercita-cita ingin cepat kaya jadilah pengusaha, bukan jadi politisi. Lihatlah bursa caleg saat ini, lebih heboh dari bursa lowongan kerja. 11.215 orang pelamar berebut 560 kursi DPR, 1109 orang pelamar berebut 132 kursi DPD, 112.00 orang pelamar berebut 1998 kursi DPRD provinsi, sedangkan 1.500.000 orang pelamar berebut 15.750 kursi DPRD kabupaten. Mungkinkah kita bisa mengharapkan mereka untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan penganguran? Saya yakin hanya segelintir saja dari mereka yang benar-benar politisi sejati.
Politisi sejati mendudukkan rakyat sebagai subjek. Politisi sejati selalu memposisikan dirinya sebagai pelayan. Seseorang yang memfasilitasi atau menciptakan tempat bagi rakyat untuk menyalurkan atau mengekspresikan aspirasinya secara terbuka. Baik secara fisik berupa open house, forum diskusi, rembug bersama sampai terjun langsung ke masyarakat dan memfasilitasi kreativitas atau pun keluhan masyarakat dengan karya nyata. Maupun lewat cyber space, baik lewat email, website, blog, sampai facebook.
Setiap politisi memiliki karakter konstituen yang berbeda, maka pemilihan sarana komunikasi yang pas untuknya juga berbeda. Yang pasti, menjalin komunikasi yang intens dengan rakyat tidak hanya saat pemilu tetapi sepanjang ia menyebut dirinya politisi. Karena politisi adalah wakil rakyat dan ia tidak mungkin mengetahui keinginan, kebutuhan dan perkembangan dinamika konstituennya bila tidak berkomunikasi secara intens.
Tujuan utama komunikasi politik yang jujur dan bertanggung jawab adalah menciptakan loyalitas konstituen. Ini adalah salah satu cara menciptakan good politic governance dan memberantas habis money politic. Dengan adanya konstituen yang loyal, seorang politisi tidak perlu membeli suara. Uang tidak bisa membeli loyalitas, karena loyalitas datang dari perasaan-kecintaan dari sebuah hubungan yang jujur, terbuka dan mesra.
Konstituen yang loyal tidak hanya akan memberikan dukungan suara tetapi juga dukungan moral dan dana serta dukungan ide-ide yang aspiratif dalam menggandeng konstituen lain. Bahkan konstituen yang loyal bisa menjadi simpatisan yang ‘menjual’ atau ‘mempromosikan’ politisi dan partainya secara cuma-cuma lewat jejaring sosial. Rekomendasi dari teman atau kerabat pasti lebih terpercaya dan efektif dalam merangkul konstituen baru ketimbang iklan dimedia massa, apalagi ketimbang poster potret diri yang ditempel dipinggir jalan.
Politisi yang berkepribadian menjadi salah satu keharusan untuk perubahan. Rayuan uang panas ratusan hingga milyaran bisa menggoyahkan iman. hanya politisi yang berkepribadian kuat yang mampu melawan godaan dengan semakin terbuka dan dekat dengan rakyat. Karena rakyatlah yang membuat ia berkuasa dan kekuasaan ia adalah tetap milik rakyat. Rakyat adalah sumber motivasi, sumber perjuangan dan sumber kebahagiaan para pemimpin sejati.
Bila hubungan politisi-rakyat telah berlangsung intens, berkesinambungan dan terbuka, maka rakyat tidak lagi membeli kucing dalam karung. Pilihan politik rakyat berdasarkan pada visi, kepemimpinan dan karya nyata sang politisi dan partainya. Rakyat memilih wakilnya yang memang benar-benar mewakili aspirasi dan perjuangan mereka bahkan yang mampu memberdayakan kreativitas rakyat dalam menghadapi tantangan hidup.
Mari kita menciptakan sebuah sistem politik dimana politisi instan dan politisi busuk tidak mendapatkan tempat karena memang tidak memperoleh dukungan rakyat. Hanya politisi yang membuka diri dan intens terkoneksi dengan rakyat, dimana perilaku politiknya terbuka setiap hari untuk di audit oleh rakyatlah yang mendapat kursi di parlemen maupun di pemerintahan. Tidak ada lagi sidang-sidang gelap dan lobi-lobi rahasia yang berujung pada tindakan kriminal dan pengkhianatan terhadap rakyat.
Yogyakarta, 20 Maret 2009
Sony Eko Setyawan