Tampilkan postingan dengan label ESSAY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ESSAY. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 April 2010

CITIZEN DRIVEN GOVERNMENT


Oleh : Sony E. Setyawan

Warga Negara adalah raja. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Sebuah cita-cita dan jiwa dari sistem pemerintahan yang demokratis. Yang begitu gencar didengungkan disaat pemilihan umum maupun pilkada. Namun hanya menjadi retorika saja, karena langsung menguap, hilang entah kemana setelah elit memegang kuasa.
Padahal, negara dan pemerintahannya tidak ada artinya tanpa warga negara. Untuk Indonesia, kurang lebih 65 % APBN didanai oleh pajak dari warga negara. Warga negaralah yang membayar gaji para birokrat, politisi yang berkuasa dan anggota dewan perwakilan. Warga negaralah yang membiayai segala fasilitas dan tunjangan yang mereka nikmati. Tapi mengapa justru warga negaralah yang harus melayani apa maunya orang-orang yang ia biayai dan hidupi ?
Melayani warga negara, bisa jadi hanya bunga-bunga pajangan saja di kantor-kantor pemerintahan. Kenyataan bahwa birokrasi kita masih sangat feodalistik, tidak dapat ditutup-tutupi. Dalam lingkaran birokrasi feodalistik, para birokrat adalah “para priyayi”, penguasa yang harus dilayani dan dipuaskan keinginannya oleh rakyat, bukan melayani rakyat.
Sayang sekali, karena kini kita hidup dalam era hiperspeed. Pergerakan barang, uang dan pengetahuan mengelilingi bumi secara intens dalam 24 jam. Kompetisi global tidak hanya antar perusahaan tetapi juga antar negara. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing di kancah global yang hiperspeed dan sangat kompetitif bila mindset birokrasi masih feodalistik dan lamban dalam bertindak?
Sangat jelas bahwa pemerintah punya keterbatasan yang sangat banyak. Urusan dalam negeri kita saja banyak sekali yang tidak selesai. Seringkali penangannya asal jadi, asal bapak senang dan bila tidak kunjung selesai, mereka cenderung mencari kambing hitam. Dan penambahan birokrasi untuk melingkupi segala sendi kehidupan dan persoalan warga negara hanya akan memperbanyak masalah ketimbang menyelesaikan masalah. Haruskah kita begini terus hingga negeri ini bubar ?
Sudah saatnya kita menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada warga negara (citizen driven government). Kejayaan Negara hanya bisa diperoleh bila warga negaranya makmur sejahtera. Pemerintahan yang berorientasi warga negara adalah pemerintahan yang melayani warga negaranya. Melayani dalam konteks menjadi “pelatih” yang mencurahkan segenap perhatiannya bagi warga negara. Pelatih adalah pemimpin yang selalu berusaha untuk memberdayakan, mengelola kekuatan dan potensi warga negaranya. Pemerintah sebagai organisasi yang memimpin warga negara, jangan hanya melulu mencari dan menutup kelemahan tetapi lebih penting untuk memicu keluarnya kekuatan dari segenap waga negara dan mengelolanya sebaik mungkin untuk kesejahteraan bersama.
Citizen driven government adalah pemerintahan yang menghormati harkat dan martabat warga negaranya. Dilandasi oleh kesadaran bahwa pemerintah adalah organisasi yang dibentuk oleh rakyat, dengan anggotanya berasal dari rakyat dan didaulat untuk melayani rakyat. Kejayaan Negara hanya mungkin terjadi dan langgeng dari generasi ke generasi bila pemerintahannya mampu “melatih” warga negaranya menjadi bangsa yang mandiri dan berdaya. Karena dalam kancah persaingan global, pemerintah, sebagai pelatih, tidak akan mampu berbuat banyak. Justru dinamika warga negaralah yang akan menentukan. Kejayaaan dan kemunduran suatu negara bangsa.
Pemberdayaan warga negara, sangatlah penting dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri, mengangkat harkat dan martabat bangsa, sehingga tiap warga negara Indonesia bisa bangga menjadi orang Indonesia, bangga dilahirkan sebagai orang Indonesia. Dengan rasa bangga itulah segenap rakyat Indonesia membangun negara secara bersama-sama. Daya kreativitas warga negara yang bermartabat dan punya perasaan kebanggaan dan kebangsaan terhadap Indonesia seyogyanya  dicurahkan sepenuhnya  untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan dilandasi dengan etika, moralitas dan penuh rasa bertanggung jawab.
Kisi-kisi kepemimpinan yang memandirikan telah lama dirumuskan oleh begawan pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantoro. Ajaran beliau yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso dan tutwuri handayani, bila diresapi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab niscaya akan membentuk kemandirian bangsa.
Ajaran Ki Hajar Dewantoro ini, sudah seharusnya menjadi pedoman bagi para politisi yang berkuasa, para birokrat dan anggota dewan. Hal ini dikarenakan fakta bahwa kita bangsa Indonesia masih tergolong ke dalam masyarakat yang low trust.  Pemerintah dan pemimpin-pemimpin masyarakat masih menjadi acuan utama bagi sebagian besar warga negaranya. Sehingga segala tingkah polah pemerintah dan pemimpin masyarakat memjadi pusat perhatian dan sangat mempengaruhi  peri kehidupan masyarakat.
Memandirikan bangsa tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena dunia tidak akan menunggu kita. Dalam dunia yang berlari seperti saat ini, perubahan terus terjadi setiap hari, 24 jam tanpa henti. Pergerakan pengetahuan, uang dan barang terus menerus mengalir dengan kecepatan yang semakin meningkat dan biaya yang semakin menurun. Tidak bisa dipungkiri, kita saat ini telah tergerus oleh laju globalisasi, dan gelombang itu terus membesar.

Oleh karenanya, kita tidak saja harus mencetak “orang-orang pintar”, tetapi juga para pemimpin yang berkepribadian. Membangun manusia Indonesia yang berkarakter, sehingga kita bangsa Indonesia tidak hanya memunculkan satu-dua pemimpin besar tetapi jutaan pemimpin, yang mampu mengorganisasikan dirinya dan lingkungannya dengan penuh tanggung jawab. Menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang telah menemukan jati dirinya. Yang telah berdamai dengan masa lalu dan berkarya dengan produktif, kreatif dan bertanggung jawab disaat ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik

Kamis, 22 April 2010

KOMUNITAS DAN KOPERASI


Oleh : Sony E. Setyawan

Berkomunitas tidaklah hanya sebagai trend, namun telah menjadi sebuah ‘social needs’ di saat ini. Apalagi ditunjang oleh teknologi jejaring sosial yang membuat interaksi semakin kuat dan intens. Tidak mengherankan bila komunitas-komunitas tumbuh bak cendawan.
Komunitas-komunitas bisa muncul dari berbagai latar, kesamaan hobi, pekerjaan, idealisme, kecintaan terhadap produk, dll. Yang sama dari semua komunitas tersebut adalah spiritnya. Komunitas adalah kumpulan orang-orang, bukan kumpulan uang. Dan komunitas yang langgeng adalah komunitas yang punya soul, jadi bukan sekedar kumpul-kumpul. Tiap anggotanya punya rasa bangga dan mengidentifikasikan diri dalam komunitas, sehingga terbentuk belonging yang kuat, dimana antar anggota saling peduli (care) seperti sebuah keluarga.
Spirit (soul) dari komunitas itulah yang acapkali hilang dari koperasi-koperasi kita. Koperasi kita seringkali terlalu economic oriented. Terlalu mengedepankan iuran dan uangnya, namun kering dalam bounding interaksi sosial sehingga koperasi-koperasi berdiri atas landasan ekonomi semata. Hasilnya bisa kita lihat, koperasi kita tidak banyak berkembang dan kalah jauh dari organisasi ekonomi (swasta) non koperasi. Sedangkan koperasi-koperasi yang terlihat sukses, kadangkala adalah koperasi yang berdiri atas inisiatif pemerintah dan acapkali koperasi tersebut mendapat bantuan kontinyu dari pemerintah.
Sejatinya koperasi dan komunitas memiliki beberapa persamaan, yaitu asosiasi orang-orang yang bergabung dan melakukan kegiatan (usaha) bersama. Keduanya sama-sama mengedepankan humanity ketimbang akumulasi uang. “Money can’t buy my love”, begitu kira-kira spiritnya. Itulah sebabnya saya merasa koperasi dan komunitas bisa saling berkolaborasi dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan versi 2.0.
Ekonomi kerakyatan versi 2.0 adalah ekonomi koperasi berbasis komunitas. Yang menjadi landasan utama dalam ekonomi koperasi berbasis komunitas adalah identitas (karakter) komunitas, kreativitas anggota komunitas dan dinamika anggota dalam berkoperasi-komunitas.
Salah satu hal terpenting dari komunitas adalah pembentukannya terjadi bukan atas inisiatif pemerintah dan hidup bukan dari bantuan pemerintah. Komunitas berdiri murni inisiatif anggotanya, dan inilah yang sebetulnya di cita-citakan oleh Bung Hatta dengan koperasinya. Koperasi yang mandiri dan independent, dari anggota oleh anggota dan untuk anggota.
Sistem koperasi bisa masuk ke dalam komunitas dalam berbagai wujud. Dari mulai arisan dan simpan-pinjam koperasi, membuka toko hobi, sampai perusahaan bersistem koperasi. Masuknya sistem koperasi dalam komunitas memiliki banyak manfaat bagi anggota komunitas, terutama mengaktifkan pemerataan kesejahteraan dan meningkatkan semangat togetherness diantara anggota komunitas. Karena sistem koperasi yang selaras dengan spirit komunitas yaitu dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota.
Aktivitas koperasi tidak terbatas antar anggota tetapi juga keluar komunitas. Hal ini bisa digunakan sebagai pemacu kreativitas anggota dalam berkreasi dan menggiatkan kegiatan perdagangan-ekonomi koperasi komunitas. Efeknya cukup jelas bagi kesejahteraan semua anggota komunitas. Karena bertujuan memeratakan kesejahteraan anggota komunitas, maka bounding antar anggota dalam memajukan koperasi-komunitas menjadi teramat penting.
Dalam komunitas yang berkoperasi, pasang-surut aktivitas koperasi ditentukan oleh pasang surut dinamika komunitas. Itulah sebabnya semakin kuat identitas komunitas, maka semakin kuat pula daya jual produk-produk koperasi komunitas. Agar identitas komunitas kuat, maka tiap anggota komunitas harus mencintai dan bangga dengan komunitasnya dan mengidentifikasikan diri pada komunitasnya. Selain itu anggota komunitas juga harus menumpahkan kreativitasnya dalam komunitas, sehingga selalu ada yang baru, fresh dan menggugah ketika berkomunitas.
Ekonomi koperasi berbasis komunitas selain dapat menjadi ajang mengali dan mengasah entrepreneurship, sekaligus dapat memperkuat social capital bangsa Indonesia yang semakin lama semakin terkikis akibat deru laju kapitalisme global. Mari kita kembali ke jati diri bangsa Indonesia, bangga menjadi Indonesia, menumpahkan kreativitas kita untuk Indonesia dan menghidupakan kembali sistem ekonomi yang humanis, ekonomi koperasi berbasis komunitas.

Kamis, 01 April 2010

APA YANG MENYATUKAN KITA


Oleh : Sony Eko Setyawan
 
Republik ini telah 64 tahun merdeka, tapi beberapa tahun belakangan ini, ia tidak pergi kemana-mana. Hanya berjalan di tempat, berlayar berputar-putar tanpa arah. Timbul tenggelam dalam lautan permasalahan. Sudah untung kapal kita masih mengapung ditengah pusaran gelombang persoalan hidup yang datang silih berganti. Kita berada dalam satu kapal namun masing-masing dari kita asik sendiri dengan urusan kita masing-masing. Kita semakin teratomisasi dan terkotak-kotak. Tidak heran walaupun kita masing-masing telah merasa bekerja keras demi bangsa dan Negara, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Dan hasil buruk itu merebakkan siklus saling menyalahkan. Gossip dan fitnah bermekaran, saling jegal dan sikut menjadi norma untuk bertahan hidup di negeri yang ‘terendam lumpur’ ini. Haruskah kita terus begini?
            Kemajuan yang paling efektif selalu dilakukan bukan oleh individu yang bekerja sendiri untuk mengharumkan nama mereka sendiri, tetapi berkat persatuan. Persatuan yang menyatukan berbagai pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, lalu melipatgandakan upaya dan pencapaian bersama melalui proses.
            Semangat persatuan itu (per se) tidak menjamin apa-apa bagi kita. Namun tanpa persatuan kita tidak akan berhasil. Persatuan yang mewujud dalam kerja tim adalah satu-satunya cara untuk mencapai momen yang menentukan, untuk mengisi kehidupan kita dengan suatu hal yang penting, yang mendasar bagi kehidupan.
            Hidup adalah tentang mengatasi masalah dan tantangan-tantangan. Setiap zaman menyuguhkan tantangannya sendiri yang mengharuskan kita untuk memberi tanggapan yang sesuai.
Dalam nyala terang kesadaran, para pemuda dari berbagai jong di seluruh Indonesia bersatu. Mereka mampu mengambil pelajaran dari sejarah para pahlawan. Hasanudin, Diponegoro, Patimura, Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, adalah pemimpin-pemimpin yang hebat, namun mereka gagal dalam mengusir penjajah. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Para pemuda bersatu dalam perbedaannya dan berikrar bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Bila para pemuda di tahun 1928 mampu berkesadaran untuk bersatu, dengan pikiran dan hati yang terbuka mampu mengatasi segala perbedaannya, mengapa kita tidak?
Perbedaan itu tidak hanya terbatas suku, bahasa, ras, agama tetapi juga ideologi, sistem/ cara kerja dan kepentingan-kepentingan (individu, golongan, partai institusi). Perbedaan-perbedaan itu bukan untuk dibuang, mereka menjaga kesatuan sambil menonjolkan perbedaan dan keunikan para individu maupun kelompok dan golongan. Hanya saja setiap insan harus mau terbuka pikiran dan hatinya dan menanggalkan egoismenya. Bila kita mau dan mampu terus bersatu padu, kepentingan dan cita-cita pribadi akan terlampaui bersamaan dengan saat cita-cita bersama tercapai. Dalam kesatupaduan itulah kita mencapai kemerdekaan kita.
Apa yang menyatukan kita setelah proklamasi kemerdekaan?
Dimasa pemerintahan Sukarno, rakyat bersatu di bawah naungan karisma beliau. Kita tampil secara high profile, dengan kebanggaan dan independensi. Go hell with your aid! Diserukan Sukarno kepada AS dan negara-negara barat yang dulunya para kolonialis. Sukarno juga mampu menyatukan rakyat untuk merebut Irian Barat dan menyatukan Indonesia seutuhnya. Sayangnya, karisma Bung Karno tidak cukup untuk menyatukan elit politik yang sibuk sendiri berebut kekuasaan. Parlemen selalu ribut dan tidak mampu merumuskan undang-undang, kabinet pemerintahan silih berganti di jatuhkan parlemen. Sedangkan ekonomi morat-marit dan rakyat jelata menjadi korban hyper inflasi.
Kekuatan militer dan pertahanan rakyat semesta menjadi kekuatan pemersatu dibawah pemerintahan Suharto. Dengan gaya pemerintahan yang militeristik, sentralis dan cenderung otoritarian, Suharto berhasil membungkam gejolak-gejolak dalam masyarakat. Dimasa itu demokrasi hanyalah hiasan. Namun disisi lain, prestasi dalam bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur tidak dapat dipungkiri.
Di setiap revolusi dan transisi, dari mulai masa pembentukan bangsa, perjuangan kemerdekaan, masa transisi orde lama, hingga transisi orde baru, pemuda dan mahasiswa selalu memainkan peranannya. Mereka yang dekat dengan rakyat dan menangkap keluh kesah juga penderitaan rakyat. Seringkali merekalah yang menginspirasikan kita untuk bersatu dan berjuang bersama mengatasi perbedaan-perbedaan, perselisihan dan pertentangan yang ada.
Apa yang menyatukan kita saat ini?
Jawabanya hanya bisa kita temukan jika kita bersedia untuk bersatu dengan penuh komitmen mengatasi perbedaan-perbedaan dan kepentingan-kepentingan. Membuka hati dan pikiran kita untuk saling berbagi gagasan dan cita-cita, berbagi tugas dan tanggung jawab, berbagi semangat dan dorongan untuk menghadapi tantangan abad 21.
Indonesia akan jadi apa dan pergi kea rah mana kitalah yang menentukan. Setiap insan warga Negara Repubik Indonesia memiliki hak dan tanggung jawab untuk mendengar dan didengar aspirasi, gagasan dan karya nyatanya.
Bangsa pemenang adalah bangsa yang mampu menyatu padukan diri setiap insannya. Bersatu dan berjuang bersama menghadapi tantangan untuk mencapai kemenangan yang dicita-citakannya

Selasa, 30 Maret 2010

SEPAK BOLA DAN PENDIDIKAN

Sony Eko Setyawan



Siapa yang paling terakhir mati? Yang paling terakhir mati adalah harapan, begitu tulis Sindhunata suatu kali. Bola memang guru yang kejam dalam mengajari kita menghadapi kenyataan. Sungguh kita kecewa berat saat timnas kita terlalu sering gagal diberbagai ajang pertandingan.
            Inilah dunia bola, sebuah panggung yang disebut realisme-magis oleh Sindhunata. Bola itu bundar, seperti hidup ini yang sungguh dikuasai oleh hal-hal yang kebetulan, begitu menurut Heidegger. Nasib dalam sepak bola ditentukan oleh bergulirnya bola dalam sebuah pertandingan. Namun demikian bola juga mengajarkan bahwa hidup tidak berakhir hanya oleh kekalahan dalam sebuah pertandingan. Karena hidup manusia itu tersusun dari harapan ke harapan. Walaupun hidup manusia bergerak dari kegagalan ke kegagalan, toh ia tetap diperkenankan memandang ke masa depan.
            Namun demikian, filosofi tersebut tampaknya tidak meresap dalam “dunia pendidikan” kita. UN yang baru saja lewat seperti bertindak sebagai hakim nasib bagi semua siswa. Ia seperti penghancur harapan, hingga siswa yang gagal UN sampai ada yang bunuh diri. Apakah falsafah inti yang melandasi pola pendidikan kita sehingga sebuah UN menjadi kata akhir bagi siswanya? Bukankah seharusnya UN hanya menjadi salah satu bagian dari evaluasi (kinerja) belajar siswa?
            E.F Schumacher dalam bukunya, Kecil itu indah (Small is beautiful) menulis bahwa tujuan utama pendidikan adalah menyebarkan idea mengenai tata nilai, mengenai mau apa kita dengan hidup kita ini. Nilai-nilai ini tidak akan membantu kita menemukan jalan dalam penghidupan ini kecuali jika nilai-nilai ini telah menjadi milik kita sendiri, dalam arti telah menjadi bagian dari susunan mental kita. Ini berarti nilai-nilai itu bukan sekedar kaidah–kaidah atau pernyataan-pernyataan dogmatis belaka bahwa kita berfikir dan merasa dengan nilai-nilai itu, bahwa nilai-nilai itu adalah alat yang kita pergunakan untuk memandang, menafsirkan dan menghayati dunia.
            Sayangnya dunia pendidikan saat ini lebih mengacu pada target kelulusan dan indikator-indikator statistik lain. Ia juga sangat gandrung menjejali siswa dengan ilmu dan teknik (know how) tanpa membekalinya dengan kearifan dalam penggunaannya. Tidak heran bila kita tahu bagaimana mengerjakan banyak hal, tetapi tahukah kita apa yang sebenarnya kita lakukan?
            Tampaknya dunia bola lebih banyak memberi kita pelajaran bagaimana menghayati dunia dan realitas. Bola menyuguhkan kepada kita kegembiraan, kesedihan, kompetisi, kerjasama, konflik, kepaduan tim, transfer ilmu, taktik dan strategi, perjuangan dan spirit, juga kecurangan dan kepura-puraan. Kehidupan bukanlah kesempurnaan yang ideal. Tapi ia terus bergulir, mengalir, diantara kemenangan dan kekalahan, perjuangan dan harapan yang mengalir dan bergulir seperti bola.
            Bagi Sepp Herberger, pelatih legendaris yang berhasil membawa Jerman menjadi juara dunia 1954, pendidikan hanyalah menyumbang 1/3 keberhasilan; 2/3 lainnya ditentukan oleh perkawanan dan keberuntungan. Pendidikan dan training dilakukan secara kontinyu jauh sebelum pertandingan dimulai. Keberuntungan terjadi dilapangan hijau. Sedangkan perkawanan dibina diluar keduanya. Disini pelatih harus bisa mengumpulkan pemain-pemain yang siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawanya sendiri.
            Bila kita mau sedikit merenung, filosofi Herberger ini juga berlaku bagi kehidupan kita, baik dalam bidang olah raga,  bisnis, politik, pergaulan diplomatik internasional,dll. Kepercayaan menjadi kata kunci.kepercayaan tumbuh dari kejujuran atau hubungan keterbukaan yang dilandasi oleh komitmen dan tanggung jawab.
            Apakah dunia pendidikan kita mengjarkan tentang kejujuran, komitmen dan tanggung jawab yang oleh karenanya kepercayaan tercipta? Menurut Denni B. Saragih (Kompas, 16 Juli 2007) terdapat 14 dugaan kecurangan UN yang diinvestigasi Irjen. Disimpulkan adanya 25 modus operandi kecurangan, termasuk kecurangan yang melibatkan sub rayon dan seluruh kepala sekolah di sub rayon tersebut, serta pelanggaran prosedur operasional standar oleh dinas pendidikan.
            Dalam sepak bola, pluralitas adalah hidup. Tidak ada kebenaran tunggal dalam bola, kecuali aturan main bahwa bola itu disepak dan bukan dipegang lalu dibawa lari. Sportivitas dan fair play juga berlaku universal. Dalam sepak bola, tidak ada gaya bermain yang lebih benar dari gaya yang lain, tidak ada strategi yang unggul dari yang lain, tidak ada gaya pelatihan yang lebih murni dari yang lain. Dunia bola telah mengamini bahwa pluralitas adalah hidup, realitas tidaklah beku. Dan manusia pada hakekatnya terus dalam keadaan mencari untuk menjadi, dalam perjalanan hidup yang penuh liku seperti bola yang terus mengelinding.
            Timnas Indonesia pun mengajarkan pada kita bahwa ia tidak membedakan ras, suku agama dalam pemilihan pemainnya. Profesionalisme menjadi acuan dasar dan pluralitas mewarnai timnas kita. Masing-masing dengan posisi dan perannya, saling mengisi mengolah bola bundar untuk tujuan bersama, bukan ego pribadi. Kemenangan adalah milik bersama satu tim bukan hanya pencetak gol. Inilah egalitarianisme ala bola. Di lapangan bola, semua pemain harus siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawannya sendiri tanpa memandang perbedaan ketenaran, kekayaan, dll. Lapangan hijau memberi kita pesan, you are not measured by what you have (material) but what you do, your contribution to another and your team.
            Bola memberikan kepada kita “pendidikan” yang sering kali alpa dari bangku sekolah. Pendidikan yang menjadi alat untuk memandang, menafsirkan dan menghayati realitas kehidupan. Tidaklah pada tempatnya bola menggantikan bangku sekolah, tetapi mengapa tidak bila pendidikan lebih “bundar” hingga lebih dekat dengan realitas?

Senin, 29 Maret 2010

KREATIVITAS DAN KORUPSI

Ditengah keterpurukan yang berkepanjangan, Bangsa Indonesia terasa seperti kerupuk yang sedang masuk angin alias mlempem. Setiap kali diadakan survey tentang produktivitas atau daya saing juga kepastian hukum, kita selalu terpuruk. Namun tidaklah bijak bila mengatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tidak kreatif.

Seribu bukti bisa ditemukan, tersebar dari Sabang sampai Merouke, tentang daya kreativitas warga negara kita. Sebut saja Marjiyo dari desa Paten, Yogyakarta mulai menyeber ‘virus’ bercocok tanam organik untuk memutus ketergantungan terhadap pupuk buatan (Kompas, 10/12/05), atau Masrah dengan mobil marmut listiknya memulai kemandirian manufakturing otomotif (Kompas, 5/12/05), demikian juga Ayi Rohman dengan perpustakaan kecilnya di desa Arjasari, Jabar (Kompas, 28/11/05). Di dunia bisnis terdapat Rusdi Kirana, yang menebar deman low cost carrier di Indonesia dengan Lion Airnya, Hermawan Kertajaya menjadi pelopor marketing consultant di Indonesia, sedangkan di ranah manajemen spiritual terdapat Ary Ginandjar dengan ESQ-nya (Swa, 5/1/05). 

Tidak ketinggalan pula para pelaku ekspor fiktif, yang dengan menggunakan daya kreativitasnya memalsukan dokuman ekspor dan restitusi pajak, mereka juga mampu bekerjasama dengan oknum aparat sebagai sebuah ‘tim’. Belum lagi kreativitas para penyelundup, mulai dari pasir laut, kayu gelondongan, minyak mentah sampai satwa langka, yang konon nilainya mencapai ratusan trilyun (Kompas 16/2/03). Tengok pula kreativitas para bupati dalam mengejar dan mengelola dana alokasi umum (Kompas, 15/10/05). Namun, para ‘siluman’ perekayasa BLBI adalah yang terhebat. Saking hebatnya seperti atraksi sulap. Uang bertilyun-trilyun hadir dan menghilang begitu saja. Kemana perginya Cuma ‘tukang sulap’ BLBI yang tahu. Kita hanya mempu geleng-geleng kepala. Mereka semua hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak orang kreatif dan inovatif yang tersebar di seluruh Indonesia.

Anda mungkin tidak setuju, tatkala saya menyatukan para penyelundup dan parapesulap BLBI dengan pak Marjiyo atau Hermawan Kertajaya. Tidak apa, itu Cuma masalah sudut pandang. Yang ingin saya coba garis bawahi, bahwa Indonesia tidak kehilangan daya kreativitasnya. Entah itu berupa kreativitas produktif maupun kreativitas destruktif. Dari Sabang sampai Meruoke, dari pelosok desa sampai ke gedung pencakar langit di kota, daya kreativitas warga negara hadir dan terjadi setiap hari. Dan kita memiliki 200 juta penduduk, yang merupakan aset yang luar biasa besar- kalau kita bisa memberdayakannya secara maksimal.
Korupsi adalah salah satu bentuk kreativitas, yaitu kreativitas destruktif. Seseorang yang tidak kreatif dan atau tidak dipaksa untuk kreatif tidak akan melakukan korupsi. Kalau seseorang nrimo, apa adanya, menjalani tugas-tugas yang harus ia jalani dengan komitmen dan menikmati apa yang ia dapatkan sebagai ridho dari Allah, apa ia akan korupsi? Dan bukankah kreativitas muncul dari ketidakpuasan atau desakan kebutuhan dan tekanan lingkungannya?
Simaklah pernyataan seorang pegawai dalam pembukaan tulisan sdr Handrawan Nadesul (Kompas, 10/2/05). “Di zaman semakin sulit, apa masih mungkin hidup tanpa suap. Hampir semua pegawai perizinan, petugas imigrasi dan layanan publik doyan makan suap. Suap membantu hidup kalau gaji saja tidak cukup”.
Dari penyataan tersebut terurai bahwa korupsi telah menjadi praktek (kebiasaan) sehari-hari. Seperti halnya merokok, orang tahu bahayanya, namun tetap saja melakukannya. Semua orang tahu dan paham betul korupsi itu dosa dan merusak, namun tetap saja melakukannya. Mustahilkah memberantas korupsi?
Andai berandai, seandainya di negeri ini terdapat “Hakim Bao” dan para pembantunya yang sangat kompeten dalam menegakkan hukum dan keadilan, munkin kita harus membuat belasan hingga puluhan penjara baru. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang (koruptor) harus berdesak-desakkan dalam penjara, dari koruptor kelas ‘hiu’ sampai koruptor kelas’teri’. Dan apakah semua ini akan menyelesaikan masalah korupsi dengan tuntas? Ya, setidaknya selama ‘Hakim Bao’ masih menjabat, bila tidak? 

Bila korupsi adalah perilaku, maka kita harus menundukkannya dengan berbekal ilmu perilaku. Dalam perspektif behavioris, perilaku adalah fungsi dari konsekuensinya (Daniels, 2005). Jadi orang melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang terjadi pada orang itu ketika ia melakukannya. Disinilah keterkaitan antara budaya konsumtif materialistik dengan korupsi tergambar jelas. Bahwa budaya tersebut merupakan anteseden (latar belakang) terhadap perilaku koruptif. Dan orang yang bergaya hidup konsumtif materialistik memiliki kemungkinan yang tinggi melakukan korupsi. Tetapi tindakan tersebut tidak akan terjadi berulang-ulang bila konsekuensi yang terjadi setelah perilaku konsumtif tidak mendukung atau memberikan dorongan positif (menguatkan) perilaku tersebut. Dalam budaya konsumtif materialistik, the richman is a nobleman, status dan penghargaan sosial yang diterima seseorang karena kaya (entah asalnya dari mana) adalah salah satu penguat perilaku koruptif.

Tentu kita tidak menutup mata terhadap lemahnya sistem hukum dan sistem pengawasan pada birokrasi pemerintahan, yang memberi celah untuk perilaku koruptif tersebut. Lalu, mengapa hukum peradilan (walau bersih) kadang tidak efektif memberantas korupsi? Hal tersebut tidak lain karena lemahnya waktu yang dibutuhkan bagi seorang pelanggar (koruptor) dalam menjalani proses hukum. Sedangkan koruptor dapat menikmati hasil korupsinya secara pasti dan segera setelah ia melakukan tindak korupsi. Karena konsekuensi yang cepat dan pasti memiliki kekuatan (efektivitas) yang lebih baik dalam mengatur perilaku, maka proses hukum menjadi kurang efektif dalam memberantas korupsi.

Untuk memberantas korupsi, kita terlebih dahulu harus mengidentifikasi perilaku-perilaku koruptif dan menyusun konsekuensi untuk menghentikannya. Karena hukum tidak memberi tahu orang gambaran yang jelas tentang perilaku alternatif / jalan keluar dan hanya memberi tahu apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Maka kita harus mengidentifikasi perilaku-perilaku alternatif dan menyusun konsekuensi positif untuk mendorong perilaku anti koruptif tersebut.

Perilaku anti koruptif akan efektif apabila menghasilkan sesuatu yang positif bagi orang yang mengalaminya. Dorongan positif dan penghargaan social yang terus menerus dan merayakan pencapaian keberhasilan, sekecil apapun akan menguatkan usaha perubahan. Hal ini bersesuaian dengan sebuah pepatah dari Jepang, “Tetes hujan yang melimpah menghasilkan samudera”. Karena lingkungan (pekerjaan, teman kerja dan atasan, pergaulan dan keluarga) menghadirkan konsekuensi yang besar dan berpengaruh terhadap perilaku, ia dapat menjadi sumber dorongan positif yang kuat untuk perilaku anti korupsi. 

Semua ini tidak akan berarti bila tidak ada konsekuensi dan integritas dari pemimpin, mulai dari presiden sampai pemimpin tingkat local, pejabat-pejabat BUMN, birokrat,elit politik sampai pejabat hukum (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman). Bahwa kita sering menonton dan mendengar berbagai macam inkonsistensi antara ucapan dan jargon-jargon anti korupsi dengan tindakan pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, secara tidak sadar telah menciptakan dorongan positif / menguatkan perilaku koruptif. Toh, semua orang melakukannya, begitu kata angin. Demikian juga nasib buruk para whistle blower dalam upaya membongkar aksi korupsi, secara sadar atau tidak telah ‘menghukum’ perilaku anti korupsi.
Dorongan positif untuk perilaku anti korupsi tidak harus selalu berwujud materi. Penghargaan yang tulus baik secara personal maupun secara sosial dan diakuinya prestasi individu anti koruptif baik secara komunal, maupun secara nasional akan sangat berharga bagi penguatan gerakan anti korupsi. Kreativitas dalam mencari alternatif perilaku untuk menyalurkan daya kreativitas warganegara, baik untuk menghentikan perilaku koruptif maupun untuk perilaku kreatif-produktif sangatlah diperlukan. Inspirasi itu dapat berasal dari lingkungan kerja, rekan kerja dan atasan atau dari lingkungan pergaulan dan keluarga. 

Menautkan hati dengan hati adalah esensi dari pengelolaan manusia, untuk mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri seseorang. “Bersama kita bisa”, bolehlah diartikan sebagai menautkan hati dengan hati, saling memberikan dorongan positif untuk perilaku anti korupsi dan kreativitas-kreativitas yang produktif. Semoga kita bisa.

Oleh : Sony Eko Setyawan

Kamis, 10 Desember 2009

REINVENTING POLITIC


Hiruk-pikuk politik di negeri ini masih menyimpan lubang hitam yang besar bernama money politics. Sebuah lingkaran setan masih membungkam politik Indonesia. Sederetan politisi mulai dari Abdul Hadi Jamal, Noor Adenan Razak, Saleh Jasit hingga Al Amin Nasution menyadarkan kita bahwa paradigma politik lama masih kuat mencengkeram.
Mindset politik lama mendudukkan rakyat hanya sebagai objek. Rakyat dirangkul saat musim pemilu tiba, tapi ia hanya duduk sebagai angka dan data saat penghitungan suara, lalu terlupakan setelahnya. Emosi masyarakat diaduk-aduk untuk kemudian dimobilisasi, ditarik kesana-kemari hanya untuk memuaskan ego para pemain politik. Bagi rakyat politik hanya hadir saat pemilu. Karena pesta rayuan politik hanya terjadi saat pemilu, setelahnya rakyat kembali pilu seiring menguapnya janji-janji palsu.
“Terjun ke dunia politik dibutuhkan modal uang yang besar” adalah ciri khas minset money politic. Mindset ini mengandaikan besarnya suara yang bakal direngkuh adalah sebanding dengan uang yang dikeluarkan. Alasan logikanya dengan banyak uang ia bisa bebas beriklan, membuat ribuan poster, baliho, umbul-umbul, membeli slot dan space iklan di TV, radio, koran, majalah juga bisa bagi-bagi angpau ‘serangan fajar’. Jadi persaingan politik dalam pemilu adalah persaingan dalam ‘membeli’suara rakyat.
Tidak heran jikalau setelah terpilih, gaji yang tinggipun seringkali tidak cukup untuk menutup ‘hutang biaya kampanye’. Bahkan untuk mempertahankan ‘kursi’ menjelang pemilu sederetan politisi harus melakukan korupsi. Money politic menjadi lingkaran setan yang menjerat dan berurat akar dalam perpolitikan di negeri ini.
Dalam kehidupan masyarakat awam politik hanya hadir saat pemilu. Politik seperti tidak terhubung dengan kehidupan keseharian warga negara. Dan perilaku politik yang tidak pantas membuat rakyat semakin apatis terhadap politik. Apatisme politik tertangkap dari maraknya golput. Bahkan sebuah blog janganbikinmalu2009 mewadahi kejengkelan dan kebingungan masyarakat cyber kita terhadap perilaku politik di Indonesia.
Vox populi vox dei. Sudah semestinya politik itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Saya rasa ini bukan keadaan ideal melainkan sudah menjadi keharusan. Masyarakat Indonesia bukanlah orang-orang bodoh yang bisa dibodohi terus-terusan. Kita memasuki era keterbukaan, dimana masyarakat kini adalah pewarta-pewarta yang bisa menangkap basah ‘kenakalan’ elit negara kapan saja, dimana saja.
Budaya politik di Indonesia harus berubah. Bila elit politik tidak mau merubah perilaku dan budaya politiknya, bisa jadi mereka akan dipaksa berubah oleh rakyat. Dan bila itu yang terjadi, tidak terbayangkan kegemparan dan kengerian yang bakal terjadi. Rakyat yang bersatu tidak bisa dikalahkan, kejadian tahun 1998 telah membuktikan semua itu. Kekuasaan sejati ada ditangan rakyat.
Untuk merubah budaya politik Indonesia yang pertama harus berubah adalah mindset politik. Jujur saja kalau bercita-cita ingin cepat kaya jadilah pengusaha, bukan jadi politisi. Lihatlah bursa caleg saat ini, lebih heboh dari bursa lowongan kerja. 11.215 orang pelamar berebut 560 kursi DPR, 1109 orang pelamar berebut 132 kursi DPD, 112.00 orang pelamar berebut 1998 kursi DPRD provinsi, sedangkan 1.500.000 orang pelamar berebut 15.750 kursi DPRD kabupaten. Mungkinkah kita bisa mengharapkan mereka untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan penganguran? Saya yakin hanya segelintir saja dari mereka yang benar-benar politisi sejati.
Politisi sejati mendudukkan rakyat sebagai subjek. Politisi sejati selalu memposisikan dirinya sebagai pelayan. Seseorang yang memfasilitasi atau menciptakan tempat bagi rakyat untuk menyalurkan atau mengekspresikan aspirasinya secara terbuka. Baik secara fisik berupa open house, forum diskusi, rembug bersama sampai terjun langsung ke masyarakat dan memfasilitasi kreativitas atau pun keluhan masyarakat dengan karya nyata. Maupun lewat cyber space, baik lewat email, website, blog, sampai facebook.
Setiap politisi memiliki karakter konstituen yang berbeda, maka pemilihan sarana komunikasi yang pas untuknya juga berbeda. Yang pasti, menjalin komunikasi yang intens dengan rakyat tidak hanya saat pemilu tetapi sepanjang ia menyebut dirinya politisi. Karena politisi adalah wakil rakyat dan ia tidak mungkin mengetahui keinginan, kebutuhan dan perkembangan dinamika konstituennya bila tidak berkomunikasi secara intens.
Tujuan utama komunikasi politik yang jujur dan bertanggung jawab adalah menciptakan loyalitas konstituen. Ini adalah salah satu cara menciptakan good politic governance dan memberantas habis money politic. Dengan adanya konstituen yang loyal, seorang politisi tidak perlu membeli suara. Uang tidak bisa membeli loyalitas, karena loyalitas datang dari perasaan-kecintaan dari sebuah hubungan yang jujur, terbuka dan mesra.
Konstituen yang loyal tidak hanya akan memberikan dukungan suara tetapi juga dukungan moral dan dana serta dukungan ide-ide yang aspiratif dalam menggandeng konstituen lain. Bahkan konstituen yang loyal bisa menjadi simpatisan yang ‘menjual’ atau ‘mempromosikan’ politisi dan partainya secara cuma-cuma lewat jejaring sosial. Rekomendasi dari teman atau kerabat pasti lebih terpercaya dan efektif dalam merangkul konstituen baru ketimbang iklan dimedia massa, apalagi ketimbang poster potret diri yang ditempel dipinggir jalan.
Politisi yang berkepribadian menjadi salah satu keharusan untuk perubahan. Rayuan uang panas ratusan hingga milyaran bisa menggoyahkan iman. hanya politisi yang berkepribadian kuat yang mampu melawan godaan dengan semakin terbuka dan dekat dengan rakyat. Karena rakyatlah yang membuat ia berkuasa dan kekuasaan ia adalah tetap milik rakyat. Rakyat adalah sumber motivasi, sumber perjuangan dan sumber kebahagiaan para pemimpin sejati.
Bila hubungan politisi-rakyat telah berlangsung intens, berkesinambungan dan terbuka, maka rakyat tidak lagi membeli kucing dalam karung. Pilihan politik rakyat berdasarkan pada visi, kepemimpinan dan karya nyata sang politisi dan partainya. Rakyat memilih wakilnya yang memang benar-benar mewakili aspirasi dan perjuangan mereka bahkan yang mampu memberdayakan kreativitas rakyat dalam menghadapi tantangan hidup.
Mari kita menciptakan sebuah sistem politik dimana politisi instan dan politisi busuk tidak mendapatkan tempat karena memang tidak memperoleh dukungan rakyat. Hanya politisi yang membuka diri dan intens terkoneksi dengan rakyat, dimana perilaku politiknya terbuka setiap hari untuk di audit oleh rakyatlah yang mendapat kursi di parlemen maupun di pemerintahan. Tidak ada lagi sidang-sidang gelap dan lobi-lobi rahasia yang berujung pada tindakan kriminal dan pengkhianatan terhadap rakyat.

Yogyakarta, 20 Maret 2009
Sony Eko Setyawan

KREATIVITAS MENCIPTAKAN REALITAS



Hanya dengan kreativitas kita mampu menciptakan realitas. Mengatasi tantangan dan kesulitan dan menggapai relitas kehidupan yang baru.


Sejarah dunia ini diukir oleh orang-orang kreatif dengan karya-karyanya. Televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita saat ini. Tapi 100 tahun lalu, orang tidak menikmatinya, televisi bukanlah realitas kehidupan masyarakat 100 tahun lalu. Kreativitas J.L. Baird dan C.F. Jenkin–lah yang menciptakan realitas baru dalam kehidupan kita.


Bahkan lampu yang menerangi rumah kita di malam hari, bukanlah realitas bagi masyarakat 200 tahun lalu. Adalah Thomas Alva Edison yang dengan kegigihannya setelah ratusan kali melakukan percobaan dan gagal, akhirnya menemukan kombinasi yang tepat dan berhasil. Kreativitas telah menciptakan relitas baru dalam kehidupan.


Kita yang mengeluh dengan capeknya menunaikan ibadah haji di saat ini, tentunya tidak akan sanggup menunaikan haji bila dilahirkan 200 tahun yang lalu. 200 tahun lalu, orang harus menempuh perjalanan selama berbulan-bulan ditengah laut menaiki kapal layar. Bagaimana jadinya bila badai laut menerjang? Hanya iman yang mampu menjawabnya. Pesawat terbang adalah realitas kita saat ini, bukan realitas 200 tahun lalu. Adalah kreativitas Wilbur dan O. Wright yang menciptakan realitas baru dalam kehidupan kita.


Realitas dunia adalah hasil bentukan serentetan kreativitas manusia. Kreativitas yang satu menjadi pijakan bagi kreativitas yang lain. Walau ada kalanya kreativitas itu benar-benar original dan muncul dari pemahaman yang benar-benar baru.


Kreativitas adalah kunci dari peradaban manusia. Ilmu pengetahuan berkembang karena kreativitas. Industri berkembang oleh karena kreativitas. Peradaban sebuah bangsa bangkit atau tenggelam bergantung pada dinamika kreativitas warga negaranya.


Kreativitas itu menggelinding terus seperti bola salju. Semakin lama semakin besar dan bergerak semakin cepat. Salah satu contoh, semenjak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, perubahan besar melanda dunia. Kita saat ini menyebutnya dengan Revolusi Industri. Kreativitas James Watt segera direspon dengan sejumlah kreativitas lain dari berbagai kalangan. Para pengusaha menerapkan mekanisasi pada industri dan mngubah realitas industrial hingga saat ini. Para insinyur menerapkannya pada pabrik pengolahan besi dan baja. Hal tersebut pada akhirnya memicu kreativitas yang melahirkan, konstruksi rel kereta api, jembatan rangka besi, dll. Kereta api uap pun menjadi realitas transportasi manusia kala itu. Sebuah kreativitas memicu lahirnya kreativitas yang lain.


Kita seringkali menganggap bahwa yang disebut kreativitas adalah menemukan penemuan hebat atau ide-ide brilian yang mengubah dunia. Benar bahwa ide brilian dan penemuan hebat telah mengubah dunia. Namun sejatinya kreativitas itu tertanam di dalam diri setiap orang. Bahkan kreativitas itu sejatinya telah tertanam dalam RNA dan DNA kita.


Dari penelitian Walter Gilbert, yang tertuang dalam tulisannya “RNA World”, memaparkan kenyataan bahwa kreativitas molekul RNA-lah yang merajut kehidupan. Molekul-molekul RNA awalnya akan melakukan aktivitas-aktivitas katalik yang diperlukan untuk merakit salinan-salinan dirinya sendiri, kemudian mulai mensintesis protein, termasuk enzim. Enzim-enzim yang baru terbentuk tersebut akan menjadi katalis yang jauh lebih efektif daripada RNA dan akhirnya akan mendominasi. DNA akan muncul sebagai pembawa info genetik yang pamungkas, dengan kemampuan tambahan untuk membetulkan kekeliruan transkripsi karena struktur untai gandanya. Pada tahap tersebut RNA akan dialihkan ke peran perantaranya sekarang dan DNA menggantikan peran RNA untuk menyimpan info yang lebih efektif serta enzim-enzim untuk katalis yang lebih efektif. Jadi kekuarangan, tantangan, ancaman, bukanlah hambatan bagi molekul RNA yang dengan kreativitasnya menghadapi dan mengatasi persoalan bahkan mewujudkan sesuatu yang baru.


Dari sini kita bisa tahu bahwa struktur inti tubuh kita saja kreatif. Lebih dari itu kreativitas ternyata telah menjadi unsur pembentuk kehidupan di planet ini. Selama 2 milyar tahun pertama evolusi biologis, bakteri terus menerus mengubah permukaan dan atmosfer bumi, serta membuat umpan balik global bagi semua pengaturan sistem Gaia. Dalam melakukannya, bakteri menciptakan berbagai bioteknologi yang essensial bagi bagi kehidupan, termasuk fermentasi, fotosintesis, fiksasi nitrogen, respirasi dan berbagai alat untuk bergerak cepat.


Bakteri juga mengembangkan jalur kreativitas evolusioner kedua yang jauh lebih efektif daripada mutasi acak. Bakteri bebas membagi-bagi sifat-sifat warisan satu sama lain dalam satu jaringan pertukaran global dengan kekuatan dan efisiensi yang luar biasa.


Riset terkini dalam mikrobiologi telah menunjukkan bahwa sejauh menyangkut proses-proses kehidupan, jaringan bakteri planeter adalah sumber utama kreativitas evolusioner. Jadi kreativitas adalah hal yang paling esensial bagi kehidupan.


Kreativitas adalah milik semua orang. Kelahiran bangsa inipun dimulai dari ide-ide yang diusung oleh para pemuda yang mengikrarkan satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa. Bagi penjajah Belanda, kala itu Indonesia merdeka hanyalah janji, sebuah mimpi. Tetapi bagi pemuda bangsa, Indonesia merdeka adalah realitas masa depan. Dan kini, Indonesia adalah sebuah Republik Merdeka.


Di alam kemerdekaan ternyata kita tidak bebas dari masalah, bahkan saat ini akibat krisis keuangan global yang menerpa negara-negara maju, ekspor kita menurun, kapasitas pabrik diturunkan bahkan beberapa terpaksa ditutup. Gelombnag PHK mulai menghantui industri dan masyarakat kita.


Disetiap masalah ada solusi. Setiap tantangan selalu menyuguhkan peluang. Kreativitas ada dalam pikiran kita, kreativitas adalah 1 dari 4 roda penggerak dalam pikiran. Tiga yang lain adalah informasi, analisa & logika, dan sistem rutin & prosedur. (De Bono)


Kita menggunakan pikiran kita setiap hari. Pikiran ini adalah pusat dari masalah sekaligus solusi. Hanya saja kita seringkali terjebak dalam pikiran kita masing-masing sehingga gagal mencapai solusi dalam menghadapi masalah kita. Karena terjebak dalam pikiran sendiri kita seringali menyerah sebelum melangkah. Hanya orang-orang yang mampu mengontrol pikirannyalah yang mampu keluar dari jebakan, dan memberdayakan kreativitasnya.


Harus disadari bahwa tidak semua kreativitas manusia mampu mengubah realitas dunia. Tetapi setiap kreativitas kita (individu) telah mengubah realitas dalam kehidupan kita. Contohnya Julius Salaka, saat krisis moneter tahun 1997, perusahaan tempatnya bekerja terimbas krisis cukup parah. Untuk mengisi waktu luang ia mencoba membuat gitar untuk dirinya sendiri, karena ia hobi bermain gitar. Siapa sangka, gitar bikinannya disukai teman-temannya. Kini dengan merek Stephallen gitarnya dijual hingga ke Inggris, Australia dan Malaysia. Bahkan gitaris sekelas Balawan, Tohpati, dan Piyupun memesan gitas Stephallen.


Kreativitas juga tidak mengenal batas umur. Bila kita sering ke KFC, tentu kita merasa KFC didirikan oleh orang kaya yang mungkin masih muda. Tidak, KFC dimulai oleh seorang pensiunan kolonel berusia 65 tahun. Dan awalnya, resep ayamnya ditolak oleh hampir 1000 rekanan resto. Namun ia tidak menyerah, karena ia percaya bahwa resep ayam gorengnya mampu memberikan kenikmatan bagi banyak orang dan hasilnya bisa kita nikmati sampai hari ini.


Kunci keberhasilan kreativitas bagi setiap orang adalah saat ia mengerjakan yang ia kerjakan dengan tekun dan penuh rasa cinta, yang dilandasi tanggung jawab baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Kreativitas tidak sama dengan berkhayal dan bermimpi. Kalau kita memiliki suatu ide atau banyak ide tetapi membiarkan ide-ide itu berenang di alam khayal anda, maka anda sedang bermimpi. Sesuatu itu disebut kreativitas bila membuat anda melakukan sesuatu, memberdayakan diri anda untuk membuat sesuatu, melakukan sebuah tindakan dan melahirkan sebuah karya.


Realitas masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh kreativitas kita saat ini. Mari bersatu dalam kreativitas menciptakan Indonesia baru yang jaya dan sejahtera, disegani oleh dunia. Mari meninggalkan kebiasaan bergerombol dalam tindakan anarkis dan koruptif, yang hanya akan menjerumuskan diri sendiri dan bangsa ini dalam kehancuran. Sekarang eranya kreativitas. Kreativitas menciptakan realitas.