Siapa yang paling terakhir mati? Yang paling terakhir mati adalah harapan, begitu tulis Sindhunata suatu kali. Bola memang guru yang kejam dalam mengajari kita menghadapi kenyataan. Sungguh kita kecewa berat saat timnas kita terlalu sering gagal diberbagai ajang pertandingan.
Inilah dunia bola, sebuah panggung yang disebut realisme-magis oleh Sindhunata. Bola itu bundar, seperti hidup ini yang sungguh dikuasai oleh hal-hal yang kebetulan, begitu menurut Heidegger. Nasib dalam sepak bola ditentukan oleh bergulirnya bola dalam sebuah pertandingan. Namun demikian bola juga mengajarkan bahwa hidup tidak berakhir hanya oleh kekalahan dalam sebuah pertandingan. Karena hidup manusia itu tersusun dari harapan ke harapan. Walaupun hidup manusia bergerak dari kegagalan ke kegagalan, toh ia tetap diperkenankan memandang ke masa depan.
Namun demikian, filosofi tersebut tampaknya tidak meresap dalam “dunia pendidikan” kita. UN yang baru saja lewat seperti bertindak sebagai hakim nasib bagi semua siswa. Ia seperti penghancur harapan, hingga siswa yang gagal UN sampai ada yang bunuh diri. Apakah falsafah inti yang melandasi pola pendidikan kita sehingga sebuah UN menjadi kata akhir bagi siswanya? Bukankah seharusnya UN hanya menjadi salah satu bagian dari evaluasi (kinerja) belajar siswa?
E.F Schumacher dalam bukunya, Kecil itu indah (Small is beautiful) menulis bahwa tujuan utama pendidikan adalah menyebarkan idea mengenai tata nilai, mengenai mau apa kita dengan hidup kita ini. Nilai-nilai ini tidak akan membantu kita menemukan jalan dalam penghidupan ini kecuali jika nilai-nilai ini telah menjadi milik kita sendiri, dalam arti telah menjadi bagian dari susunan mental kita. Ini berarti nilai-nilai itu bukan sekedar kaidah–kaidah atau pernyataan-pernyataan dogmatis belaka bahwa kita berfikir dan merasa dengan nilai-nilai itu, bahwa nilai-nilai itu adalah alat yang kita pergunakan untuk memandang, menafsirkan dan menghayati dunia.
Sayangnya dunia pendidikan saat ini lebih mengacu pada target kelulusan dan indikator-indikator statistik lain. Ia juga sangat gandrung menjejali siswa dengan ilmu dan teknik (know how) tanpa membekalinya dengan kearifan dalam penggunaannya. Tidak heran bila kita tahu bagaimana mengerjakan banyak hal, tetapi tahukah kita apa yang sebenarnya kita lakukan?
Tampaknya dunia bola lebih banyak memberi kita pelajaran bagaimana menghayati dunia dan realitas. Bola menyuguhkan kepada kita kegembiraan, kesedihan, kompetisi, kerjasama, konflik, kepaduan tim, transfer ilmu, taktik dan strategi, perjuangan dan spirit, juga kecurangan dan kepura-puraan. Kehidupan bukanlah kesempurnaan yang ideal. Tapi ia terus bergulir, mengalir, diantara kemenangan dan kekalahan, perjuangan dan harapan yang mengalir dan bergulir seperti bola.
Bagi Sepp Herberger, pelatih legendaris yang berhasil membawa Jerman menjadi juara dunia 1954, pendidikan hanyalah menyumbang 1/3 keberhasilan; 2/3 lainnya ditentukan oleh perkawanan dan keberuntungan. Pendidikan dan training dilakukan secara kontinyu jauh sebelum pertandingan dimulai. Keberuntungan terjadi dilapangan hijau. Sedangkan perkawanan dibina diluar keduanya. Disini pelatih harus bisa mengumpulkan pemain-pemain yang siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawanya sendiri.
Bila kita mau sedikit merenung, filosofi Herberger ini juga berlaku bagi kehidupan kita, baik dalam bidang olah raga, bisnis, politik, pergaulan diplomatik internasional,dll. Kepercayaan menjadi kata kunci.kepercayaan tumbuh dari kejujuran atau hubungan keterbukaan yang dilandasi oleh komitmen dan tanggung jawab.
Apakah dunia pendidikan kita mengjarkan tentang kejujuran, komitmen dan tanggung jawab yang oleh karenanya kepercayaan tercipta? Menurut Denni B. Saragih (Kompas, 16 Juli 2007) terdapat 14 dugaan kecurangan UN yang diinvestigasi Irjen. Disimpulkan adanya 25 modus operandi kecurangan, termasuk kecurangan yang melibatkan sub rayon dan seluruh kepala sekolah di sub rayon tersebut, serta pelanggaran prosedur operasional standar oleh dinas pendidikan.
Dalam sepak bola, pluralitas adalah hidup. Tidak ada kebenaran tunggal dalam bola, kecuali aturan main bahwa bola itu disepak dan bukan dipegang lalu dibawa lari. Sportivitas dan fair play juga berlaku universal. Dalam sepak bola, tidak ada gaya bermain yang lebih benar dari gaya yang lain, tidak ada strategi yang unggul dari yang lain, tidak ada gaya pelatihan yang lebih murni dari yang lain. Dunia bola telah mengamini bahwa pluralitas adalah hidup, realitas tidaklah beku. Dan manusia pada hakekatnya terus dalam keadaan mencari untuk menjadi, dalam perjalanan hidup yang penuh liku seperti bola yang terus mengelinding.
Timnas Indonesia pun mengajarkan pada kita bahwa ia tidak membedakan ras, suku agama dalam pemilihan pemainnya. Profesionalisme menjadi acuan dasar dan pluralitas mewarnai timnas kita. Masing-masing dengan posisi dan perannya, saling mengisi mengolah bola bundar untuk tujuan bersama, bukan ego pribadi. Kemenangan adalah milik bersama satu tim bukan hanya pencetak gol. Inilah egalitarianisme ala bola. Di lapangan bola, semua pemain harus siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawannya sendiri tanpa memandang perbedaan ketenaran, kekayaan, dll. Lapangan hijau memberi kita pesan, you are not measured by what you have (material) but what you do, your contribution to another and your team.
Bola memberikan kepada kita “pendidikan” yang sering kali alpa dari bangku sekolah. Pendidikan yang menjadi alat untuk memandang, menafsirkan dan menghayati realitas kehidupan. Tidaklah pada tempatnya bola menggantikan bangku sekolah, tetapi mengapa tidak bila pendidikan lebih “bundar” hingga lebih dekat dengan realitas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar