Senin, 29 Maret 2010

KREATIVITAS DAN KORUPSI

Ditengah keterpurukan yang berkepanjangan, Bangsa Indonesia terasa seperti kerupuk yang sedang masuk angin alias mlempem. Setiap kali diadakan survey tentang produktivitas atau daya saing juga kepastian hukum, kita selalu terpuruk. Namun tidaklah bijak bila mengatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tidak kreatif.

Seribu bukti bisa ditemukan, tersebar dari Sabang sampai Merouke, tentang daya kreativitas warga negara kita. Sebut saja Marjiyo dari desa Paten, Yogyakarta mulai menyeber ‘virus’ bercocok tanam organik untuk memutus ketergantungan terhadap pupuk buatan (Kompas, 10/12/05), atau Masrah dengan mobil marmut listiknya memulai kemandirian manufakturing otomotif (Kompas, 5/12/05), demikian juga Ayi Rohman dengan perpustakaan kecilnya di desa Arjasari, Jabar (Kompas, 28/11/05). Di dunia bisnis terdapat Rusdi Kirana, yang menebar deman low cost carrier di Indonesia dengan Lion Airnya, Hermawan Kertajaya menjadi pelopor marketing consultant di Indonesia, sedangkan di ranah manajemen spiritual terdapat Ary Ginandjar dengan ESQ-nya (Swa, 5/1/05). 

Tidak ketinggalan pula para pelaku ekspor fiktif, yang dengan menggunakan daya kreativitasnya memalsukan dokuman ekspor dan restitusi pajak, mereka juga mampu bekerjasama dengan oknum aparat sebagai sebuah ‘tim’. Belum lagi kreativitas para penyelundup, mulai dari pasir laut, kayu gelondongan, minyak mentah sampai satwa langka, yang konon nilainya mencapai ratusan trilyun (Kompas 16/2/03). Tengok pula kreativitas para bupati dalam mengejar dan mengelola dana alokasi umum (Kompas, 15/10/05). Namun, para ‘siluman’ perekayasa BLBI adalah yang terhebat. Saking hebatnya seperti atraksi sulap. Uang bertilyun-trilyun hadir dan menghilang begitu saja. Kemana perginya Cuma ‘tukang sulap’ BLBI yang tahu. Kita hanya mempu geleng-geleng kepala. Mereka semua hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak orang kreatif dan inovatif yang tersebar di seluruh Indonesia.

Anda mungkin tidak setuju, tatkala saya menyatukan para penyelundup dan parapesulap BLBI dengan pak Marjiyo atau Hermawan Kertajaya. Tidak apa, itu Cuma masalah sudut pandang. Yang ingin saya coba garis bawahi, bahwa Indonesia tidak kehilangan daya kreativitasnya. Entah itu berupa kreativitas produktif maupun kreativitas destruktif. Dari Sabang sampai Meruoke, dari pelosok desa sampai ke gedung pencakar langit di kota, daya kreativitas warga negara hadir dan terjadi setiap hari. Dan kita memiliki 200 juta penduduk, yang merupakan aset yang luar biasa besar- kalau kita bisa memberdayakannya secara maksimal.
Korupsi adalah salah satu bentuk kreativitas, yaitu kreativitas destruktif. Seseorang yang tidak kreatif dan atau tidak dipaksa untuk kreatif tidak akan melakukan korupsi. Kalau seseorang nrimo, apa adanya, menjalani tugas-tugas yang harus ia jalani dengan komitmen dan menikmati apa yang ia dapatkan sebagai ridho dari Allah, apa ia akan korupsi? Dan bukankah kreativitas muncul dari ketidakpuasan atau desakan kebutuhan dan tekanan lingkungannya?
Simaklah pernyataan seorang pegawai dalam pembukaan tulisan sdr Handrawan Nadesul (Kompas, 10/2/05). “Di zaman semakin sulit, apa masih mungkin hidup tanpa suap. Hampir semua pegawai perizinan, petugas imigrasi dan layanan publik doyan makan suap. Suap membantu hidup kalau gaji saja tidak cukup”.
Dari penyataan tersebut terurai bahwa korupsi telah menjadi praktek (kebiasaan) sehari-hari. Seperti halnya merokok, orang tahu bahayanya, namun tetap saja melakukannya. Semua orang tahu dan paham betul korupsi itu dosa dan merusak, namun tetap saja melakukannya. Mustahilkah memberantas korupsi?
Andai berandai, seandainya di negeri ini terdapat “Hakim Bao” dan para pembantunya yang sangat kompeten dalam menegakkan hukum dan keadilan, munkin kita harus membuat belasan hingga puluhan penjara baru. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang (koruptor) harus berdesak-desakkan dalam penjara, dari koruptor kelas ‘hiu’ sampai koruptor kelas’teri’. Dan apakah semua ini akan menyelesaikan masalah korupsi dengan tuntas? Ya, setidaknya selama ‘Hakim Bao’ masih menjabat, bila tidak? 

Bila korupsi adalah perilaku, maka kita harus menundukkannya dengan berbekal ilmu perilaku. Dalam perspektif behavioris, perilaku adalah fungsi dari konsekuensinya (Daniels, 2005). Jadi orang melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang terjadi pada orang itu ketika ia melakukannya. Disinilah keterkaitan antara budaya konsumtif materialistik dengan korupsi tergambar jelas. Bahwa budaya tersebut merupakan anteseden (latar belakang) terhadap perilaku koruptif. Dan orang yang bergaya hidup konsumtif materialistik memiliki kemungkinan yang tinggi melakukan korupsi. Tetapi tindakan tersebut tidak akan terjadi berulang-ulang bila konsekuensi yang terjadi setelah perilaku konsumtif tidak mendukung atau memberikan dorongan positif (menguatkan) perilaku tersebut. Dalam budaya konsumtif materialistik, the richman is a nobleman, status dan penghargaan sosial yang diterima seseorang karena kaya (entah asalnya dari mana) adalah salah satu penguat perilaku koruptif.

Tentu kita tidak menutup mata terhadap lemahnya sistem hukum dan sistem pengawasan pada birokrasi pemerintahan, yang memberi celah untuk perilaku koruptif tersebut. Lalu, mengapa hukum peradilan (walau bersih) kadang tidak efektif memberantas korupsi? Hal tersebut tidak lain karena lemahnya waktu yang dibutuhkan bagi seorang pelanggar (koruptor) dalam menjalani proses hukum. Sedangkan koruptor dapat menikmati hasil korupsinya secara pasti dan segera setelah ia melakukan tindak korupsi. Karena konsekuensi yang cepat dan pasti memiliki kekuatan (efektivitas) yang lebih baik dalam mengatur perilaku, maka proses hukum menjadi kurang efektif dalam memberantas korupsi.

Untuk memberantas korupsi, kita terlebih dahulu harus mengidentifikasi perilaku-perilaku koruptif dan menyusun konsekuensi untuk menghentikannya. Karena hukum tidak memberi tahu orang gambaran yang jelas tentang perilaku alternatif / jalan keluar dan hanya memberi tahu apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Maka kita harus mengidentifikasi perilaku-perilaku alternatif dan menyusun konsekuensi positif untuk mendorong perilaku anti koruptif tersebut.

Perilaku anti koruptif akan efektif apabila menghasilkan sesuatu yang positif bagi orang yang mengalaminya. Dorongan positif dan penghargaan social yang terus menerus dan merayakan pencapaian keberhasilan, sekecil apapun akan menguatkan usaha perubahan. Hal ini bersesuaian dengan sebuah pepatah dari Jepang, “Tetes hujan yang melimpah menghasilkan samudera”. Karena lingkungan (pekerjaan, teman kerja dan atasan, pergaulan dan keluarga) menghadirkan konsekuensi yang besar dan berpengaruh terhadap perilaku, ia dapat menjadi sumber dorongan positif yang kuat untuk perilaku anti korupsi. 

Semua ini tidak akan berarti bila tidak ada konsekuensi dan integritas dari pemimpin, mulai dari presiden sampai pemimpin tingkat local, pejabat-pejabat BUMN, birokrat,elit politik sampai pejabat hukum (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman). Bahwa kita sering menonton dan mendengar berbagai macam inkonsistensi antara ucapan dan jargon-jargon anti korupsi dengan tindakan pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, secara tidak sadar telah menciptakan dorongan positif / menguatkan perilaku koruptif. Toh, semua orang melakukannya, begitu kata angin. Demikian juga nasib buruk para whistle blower dalam upaya membongkar aksi korupsi, secara sadar atau tidak telah ‘menghukum’ perilaku anti korupsi.
Dorongan positif untuk perilaku anti korupsi tidak harus selalu berwujud materi. Penghargaan yang tulus baik secara personal maupun secara sosial dan diakuinya prestasi individu anti koruptif baik secara komunal, maupun secara nasional akan sangat berharga bagi penguatan gerakan anti korupsi. Kreativitas dalam mencari alternatif perilaku untuk menyalurkan daya kreativitas warganegara, baik untuk menghentikan perilaku koruptif maupun untuk perilaku kreatif-produktif sangatlah diperlukan. Inspirasi itu dapat berasal dari lingkungan kerja, rekan kerja dan atasan atau dari lingkungan pergaulan dan keluarga. 

Menautkan hati dengan hati adalah esensi dari pengelolaan manusia, untuk mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri seseorang. “Bersama kita bisa”, bolehlah diartikan sebagai menautkan hati dengan hati, saling memberikan dorongan positif untuk perilaku anti korupsi dan kreativitas-kreativitas yang produktif. Semoga kita bisa.

Oleh : Sony Eko Setyawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar