Rabu, 31 Maret 2010

CATATAN BUKU : HAKIKAT DAN LOGIKA KAPITALISME



Robert L. Heilbroner
HAKIKAT DAN LOGIKA KAPITALISME
LP3ES, Oktober 1991, terjemahan (Wartono Hadikusumo)


“Hakikat” formasi sosial  susunan unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku para anggotanya terutama jenis-jenis perilaku yang mendorong sistem sepanjang suatu jalur historis tertentu.

Kapitalisme… pemakaian kekayaan dalam berbagai bentuk konkret, bukan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai sarana guna mengakumulasikan lebih banyak kekayaan (hal 20)

Dalam kapitalisme pemanfaatan surplus digunakan untuk menunjang kekuasaan suatu kelas dominan.

Dalam formasi sosial masyarakat sebelumnya hal tersebut digunakan untuk ekspansi militer, relijius dan dinastik.
Dalam peradaban-peradaban kuno, kekayaan itu sendiri terutama mengambil bentuk yang itu saja sudah merupakan alasan yang memadai bagi keberadaannya merupakan tujuan akhirnya. (hal 20)
Dalam kapitalisme kekayaan ada dalam benda-benda material hanya untuk sementera waktu.

Kapital itu adalah salah satu dari hal-hal itu kalau ia dipakai untuk menggerakkan suatu proses transformasi berlanjut atas kapital sebagai uang menjadi kapital - sebagai komoditi, diikuti oleh suatu retransformasi dari kapital – sebagai komoditi menjadi kapital sebagai uang yang bertambah. Inilah rumusan M-CM yang terkenal itu yang merupakan penskemaan Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani oleh “kapital” itu. (hal 21)

Setelah proses M-CM, ia tidak berhenti tetap terus dikelola dalam suatu lingkaran yang tidak berakhir. Karena uang yang diolah jadi komoditi dan dapat uang lagi tidak diperlakukan sebagai produk akhir pencarian kekayaan tetap diakumulasikan untuk memasuki tahap MCM lagi.

Karena itu kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamika yang berkelanjutan. (hal 21)

Kapital adalah suatu proses sosial bukanlah proses fisik (hal 22).
Kapital bisa bahkan harus mengambil bentuk fisik tetap maknanya hanya bisa difahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalias yang meluas.
Tahap tujuan pengorganisasian yang meluas, kapital lebur menjadi batu-batu bangunan material yang memang diperlukan tetap belum bisa mendefinisikan tujuan hidupnya (hal 22).
Uang dan Kapital
Uang adalah cara bagaimana kita biasanya mengukur besarnya kekayaan, namun orang itu sendiri bukanlah kapital uang yang dipakai itulah yang merupakan kapital (hal 22).

Saudagar-saudagar (masyarakat-masyarakat kuno) tidak disebut sebagai kapitalis karena fungsi produksi/fungsi pembimbing niaga dari inti-inti kapital ini adalah terlalu kecil dibanding dengan tradisi atau pemerintah, yaitu kekuatan pembaru dan pengarah utama di dalam sistem-sistem ini. Proses kapitalis dalam masyarakat ini diserahkan kepada pinggiran kegiatan sosial (the periphery of social activity), sering mengarahkan kegiatan-kegiatan berorientasi kemewahan tatapi bukan kegiaan yang sentral/penting.
Aspek kritis dari uang/barang kapital sebagai milik pribadi tidak terletak dalam hak para pemiliknya untuk memakainya sekehendak mereka, karena hak sosial yang berbahaya itu tidak pernah ada, tetapi untuk tidak memakainya jika memang dikehendaki oleh pemiliknya. Hak inilah yang memungkinkan kapitalis untuk mendominasi lingkungan niaga dan produksi, yang berada dalam wewenangnya, sebagaimana juga hak-hak legal lainnya yang memungkinkan perwira-perwira militer/pendeta/tokoh-tokoh politik mendominasi lingkungan yang berada dalam wewenang mereka. (hal 23)

Dominasi
Gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial membawa kita langsung ke inti dari hubungan itu dominasi.

Dominasi oleh tentara, gereja (negara) memperoleh kekuasaan-kekuasaan pembentuk perilaku langsung dari pemakaian, atau ancaman akan memakai, penghukuman fisik atau spiritual. Yaitu, memang merupakan kompetensi legal dari para pejabat ini untuk menerapkan penderitaan pada mereka yang gagal mematuhi perintah-perintah mereka.
Proses sosilisasi mungkin menyebabkan cukup hanya diperlukan memamerkan simbol kekuasaan, bukan menerapkan kekerasan, tetapi kapasitas untuk memaksakan atau menerapkan penderitaan tetap merupakan esensi dari kapasitas dominasi.

Pemilik kapital tidak berhak memakai kekuatan-kekuatan langsung terhadap mereka yang menolak untuk memasuki hubungannya dengannya sebagai pembeli atau penjual.
Kekuatan pemaksa dimiliki oleh negara, bukan kapitalis dan bila kapitalis menggunakan taktik-taktik tangan besi maka itu berarti tindakannya melanggar hukum, bukan pemakaian kekuasaan secara selayaknya.

Kapital bisa menerapkan pengaruh pengatur dan pendisiplinannya hanya bila kondisi-kondisi sosial menjadikan tindakan menahan kapital itu menjadi tindakan yang memiliki konsekuensi sosial kritis.
Syarat :
1. munculnya suatu kelas yang berorientasi kapital.
2. Munculnya kelas pekerja yang tergantung kebutuhan hidupnya pada akses peralaan produksi kapitalis (24 – 25)

Hanya dengan memahami bahwa keutuhan yang nampaknya konkret dari kapital itu nyatanya merupakan gambaran dan hubungan-hubungan ketergantungan antara 2 kategori eksistensi sosial yang berbeda ini maka dapatlah dipahami keberartian kapital itu, dan dengan itu difahami pula pengaruh perilakuan (behavioral) yang diterapkannya sebagai suatu unsur pembentuk sentral dalam hakikat dari sistem yang didirikan atas namanya (hal 25)

Hubungan dominasi punya 2 kutub (kapitalis)
1. Ketergantungan pekerja kepentingan kapital (produksi) sebagai gantungan hidup.
2. Dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.

“Besarnya kekuasaan uang ialah besarnya kekuasaan saya. Sifat-sifat uang adalah sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan esensial saya – sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan pemiliknya” Marx (hal 27)

“Karena itu kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan.” (hal 28)

Kekayaan tidak bisa eksis kecuali juga ada suatu kondisi kelangkaan – bukan kelangkaan sumber daya-sumberdaya itu sendiri, tetapi kelangkaan sarana-sarana akses kepada sumberdaya-sumberdaya itu.

Adam Smith – “Bilamana terdapat harta dalam jumlah besar, terdapat pula sejumlah ketidakmerataan. Untuk tiap satu orang yang sangat kaya, paling tidak akan ada 500 orang yang miskin dan dari kemewahan yang kaya bisa dibayangkan kemeralatan dari yang banyak itu.” (28)

Kekuasaan kapital, …, memiliki atribut yang menarik yang tidak memiliki hak-hak penghukuman langsung, yang tampaknya hampir-hampir merupakan suatu kontradiksi dari maka kekuasaan itu sendiri-sendiri; tetapi tidak seorangpun akan mengingkari bahwa kapital memiliki kekuasaan untuk memerintah dan meminta kepatuhan dalam skala yang sangat besar.

Dominasi dalam masyarakat manusia melibatkan suatu ketimpangan berstruktur dari kondisi-kondisi kehidupan yang tidak ada persamaannya dalam dunia binatang. (30)

Kapitalisme adalah rezim kapital, bentuk kepenguasaan yang kita dapati bila kekuasaan mengambil aspek dominasi, oleh mereka yang menguasai akses kepada sarana produksi yang berupa mayoritas besar yang harus mencari “pekerjaan”. (33)

Tidak adanya pemaksaan langsung dalam hubungan sosial dari kapital itu telah memasukkan suatu unsur perluasan yang diperlukan yang tidak didapati dalam praktek kekuasaan dengan cara-cara lain.

Rezim Kapital
Kapitalisme adalah suatu ruang masyarakat terlapis dimana akumulasi kekayaan memenuhi 2 fungsi, (1) realisasi prestis yang membawa kebutuhan-kebutuhan seksual dan emosional dibawah sadar. (2) Ekspresi kekuasaan dengan sederet persyaratan dan asal usul dibawah sadar.

Selain sifat-sifat nafsu bebas dari aspek abstrak kapital, ada atribut lain yang juga mendorong usaha yang terus-menerus untuk mengakumulasi yang timbul karena kapital itu eksis dalam suatu keadaan bahaya yang terus menerus selagi kapital menjalani lingkaran MCM yang tidak pernah putus.

Kapital hanya berkuasa kalau ia terus menerus beada dalam peredaran (23)

Pencairan dan penarikan terus menerius ini adalah esensi dari proses kompetisi, yang sekarang bisa dipandang sebagai suatu unsur dalam cara kerja sistem yang secara langsung berasal dari sifat kapital itu sendiri.

Kompetisi merupakan (telah menjadi) pembongkaran mutlak (inescapable exposure) dari masing-masing usaa para kapitalis guna memperoleh sebanyak mungkin daya beli masyarakat.

Kompetisi tidak ada kaitan dengan prestise.

Negara bisa meredam kompetisi dalam tiap-tiap pasar, tetapi tidak dapat menghentikan “waspada dari satu terhadap semua yang lain” yang tidak diakibatkan lingkaran M-C-M (37)

Kompetisi tidak langsung menjadi kapitalis dengan pekerja melainkan kapitalis dengan kapitalis.

Kapital itu sendiri memperkenalkan suatu bentuk perang sosial dan perang sosial membawa suatu intensitas baru untuk dorongan mencari kekayaan dalam lapisan bawah perilaku (sifat manusia). Intensitas ini berasal dari motif survive (survival/pelestarian diri) suatu motif/tanggapan-tanggapan instingtual yang paling intens dan paling tidak terkendali.

Motive survive harus ditambahkan dalam mendukung keinginan akan prestis dan kekuasaan.

Pertahanan kapital tidak bisa dilakukan seperti pertahanan suatu kota. Peraturan yang ada bagi suatu kapitalis (besar atau kecil) adalah suatu konsentrasi terus-menerus guna merebut kembali kapital sebagai uang dari tangan masyarakat.
Disinilah akar dari perilaku perolehan dari dunia bisnis yang sekarang bisa kita lihat sebagai suatu ekspresi yang diperlukan dari sifat kapital itu sendiri.

Orientasi perolehan memiliki 2 aspek
1. Sikap agresif dari para peserta dalam lingkungan ekonomi dalam hal pencarian uang itu sendiri.
2. Dorongan yang diberikan kepada gerakan-gerakan perlindungan-pemakaian kekuasaan-kekuasaan negara untuk membatasi bahaya-bahaya saling merongrong anara kapital-kapital.
Pemakaian semua sarana yang mungkin untuk memperolah sesuatu keuntungan kompetitif atas kapital-kapital lain yang paling efektif dari sarana-sarana ini adalah pengembangan cara-cara untuk mengorganisir lingkaran M-C-M dalam mata rantai tengahnya. (38 – 39)

Ekspansi kapital  kehidupan sehari-hari dibawa ke dalam lingkaran akumulasi.

Sebagian besar dari apa yang disebut “pertumbuhan” dalam masyarakat kapitalis terdiri dari komodifikasi-komodifikasi kehidupan, bukan dalam pembesaran output-output yang tidak berubah atau bahkan diperbaiki.

Penekanan terus menerus pada penemuan-penemuan yang “menghemat waktu” atau usaha bisnis terus menerus untuk memakai gaya-gaya hidup baru adalah contoh-contoh dari aspek komodifikasi ini dalam kepemilikan kapital yang meluaskan diri.

Sifat mengembang dari kapital mempengaruhi gerakan sistemiknya – yaitu logikanya dalam cara yang lebih penting lagi. Ini adalah sumber dari suatu tekanan disipliner umum yang bersama dengan terobosan dari ajakan perolehan itu sendiri, menetapkan kecenderungan yang menata-diri yang merupakan salah satu karakteristik umum dari kapitalisme (39)
Yaitu, pola konfigurasional yang dijalani oleh sistem, baik dalam kerangka irama-irama ekspansinya dan pola-pola orangnya adalah sebagian besar merupakan konsekuensi-konsekuensi ekspansi dan pembenturan dari unit-unit bisnisnya yang sekarang kita lihat sebagai suatu aspek hakikat kapitalisme.

Karakter spesifik dan hasil dari interaksi unit-unit kapital ekspansif ini bergantung pada berbagai unsur dalam struktur kelembagaan sistem, termasuk aparatur teknisnya, etos bisnis dan kultural yang berlaku, dan ideologi pemerintahannya, sehingga kompetisi memiliki berbagai bentuk dan konsekuensi bagi suatu dunia kapital skala kecil bukannya dunia kapital-kapital …..

Terdapat 2 efek yang meluas (40)
(1) Ketundukan dari usaha-usaha kapitalis untuk memperoleh kekayaan kepada prasyarat-prasyarat objektf dari pasar.
Dorongan bagi kekayaan dengan demikian terikat ke dalam produksi nilai-nilai pakai-bukan sebagai perwujudan/ “tujuan-tujuan” pencarian kekayaan, tetapi sebagai wahana, sarana dengan mana hal itu direalisasi.
… menekankan kebutuhan sistem untuk memenuhi nafsu material populasinya.
Kapitalis menjadi suatu pribadi yang tidak memiliki kekuasaan apapun, yang terpaksa menerima tingkat-tingkat ongkos dan harga yang ditetapkan oleh proses-proses pasar yang tidak dikuasainya. Dengan demikian “kapital-kapital” yang tampaknya tidak berdaya itu memberikan basis bagi logika pengkoreksian diri dari sistem itu.

(2) Suatu kekuatan disipliner ke dua muncul begitu dorongan pemaksimal dari kapital menjadi umum disemua lapisan masyarakat. – membentuk suatu kompetisi antar kapitalis. Konsekuensi yang teramat penting dari penyebaran perilaku pemaksimal ini adalah bahwa masing-masing bagian dari masyarakat kapitalis, yaitu para pekerja maupun para kapitalist menjadi terbuka terhadap kekuatan-kekuatan magnetis dari pasar, mengikuti sinyal-sinyal harga seperti anak-anak panah yang menunjukkan gerakan perilaku mereka apakah sebagai pembeli atau penjual, akibat dari magnetisasi yang merata ini adalah penciptaan suatu “sistem” ekonomik yang memperoleh kejelasan dan kontinuitasnya bukan dari pengaruh tradisi yang mendesak dari bawah atau pemerintah yang menetapkan kehendak dari atas tetapi oleh hasil tidak sengaja dari kegiatan-kegiatan yang dikendalikan sendiri yang tumbuh dari dalam (82)

Di bawah suatu sistem kerja upahan, para pekerja itu sepenuhnya bebas untuk masuk atau keluar hubungan kerja sekehendak mereka sendiri (43)

Produk (yang dihasilkan) menjadi milik pemilik sumberdaya kapital yang dipakai dalam produksi (buyers) bukan menjadi milik pemilik sumberdaya kerja yang menerima bayaran-upah dan yang tidak memiliki hak legal atas produk mereka.

Hubungan upah itu sendiri menjadi suatu cara bagaimana dominasi suatu kelas atas kelas lainnya secara tidak kentara dimasukkan ke dalam cara kerja sistem.

Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil (memiliki) produk (output produksi) tanpa membayarnya, tidak juga pekerja, manajemen, pemilik saham, dll.
Pemilik output adalah korporasi contoh GM

Perolehan laba dalam sesuatu tentunya merupakan kegiatan yang berhasil dari suatu hubungan yang pada dasarnya adalah politis.
Laba adalah darah kehidupan kapitalisme, (50)
Bukan saja karena merupakan sarana yang dipakai masing-masing kapital untuk memperoleh segala sesuatu yang diperlukan untuk ekspansinya tetapi karena itu adalah cara bagaimana hubungan dominasi itu dilaksanakan. Pembangkitan terus menerus laba menghasilkan suasana eforiknya karena hal itu membuktikan bahwa rezim itu memenuhi tugas politisnya – yaitu mengorganisir masyarakat sesuai dengan asas-asas dan tujuan-tujuan yang merupakan alasan keberadaan masyarakat itu.
Laba-laba bagi kapitalisme merupakan padanan fungsional dari perolehan wilayah atau jarahan bagi rezim-rezim militer atau suatu peningkatan dalam jumlah penganut bagi rezim-rezim relijius, atau legitimasi dari wewenang yang diakui bagi negara yang mengalami pergantian penguasa.
Terdapat penggambaran konkret dari struktur kekuasaan yang abstrak, hirarkis, privelis dan keyakinan yang timbul dari sifat sistem itu dan itu menimbulkan logikanya.

Dalam semua penggambaran-penggambaran dari sistem bisnis, laba-laba merupakan variabel ekonomi kunci, tetapi dalam setiap penggambaran dari rezim kapitalisme laba-laba itu harus merupakan parameter-parameter dari tugas historis sentralnya. (50)

Peran Negara 

Kontradiksi-kontradiksi kapitalisme itu timbul dari hakikat dan logika sistem tersebut- yaitu dari tergelarnya suatu masyarakat yang berada dalam tekanan dan tegangan khas yang ditimbulkan oleh pencariannya yang unik historis atas surplus pada umumnya.

Negara (modern) kehilangan (secara bertahap) kekuasan terhadap buruh, material, bahkan atas uang (surplus) yang ia gunakan (secara tradisional) untuk mengerahkan kekuatan sekular, relijius atau militer (59)
Walau negara mempertahankan persenjataan purna berupa kepenguasaan dan wewenang dari kewibawaan, negara itu menjadi bergantung pada operasi di republik yang diciptakannya sendiri untuk memberi penghasilan pada negara (59)

Tempat utama yang diduduki oleh logika ekonomis dalam hal pengumpulan dan pembagian surplus memberikan suatu bobot karakteristik ( a characteristic tention) ke dalam hakikat politis dari kapitalisme.

Karena negara ataupun perekonomian tidak bisa eksis dengan sendirinya, dan masing-masing itu mampu, karena keliru beroperasi, membahayakan keberhasilan operasi satu sama lain. (61)

Demikianlah maka kapital, yang muncul di dalam negara dan yang eksis semula haya atas perkenan negara, menjadi makin mampu menentang atau eksis “di atas”, negara (62).
Suatu jaringan arus-arus komoditi memotong melintasi batas-batas kedaulatan nasional guna membentuk suatu “sistem” yang beroperasi menurut kehendak-kehendak logikanya sendiri, dengan makin tidak memperdulikan kehendak-kehendak politis (62)

Merupakan sifat rezim kapital bahwa ia eksis dalam kondisi kebebasan campruan, dan ketergantungan pada, rezim kekuasaan negara sebelumnya, barangkali ditandai oleh adanya perubahan bolak-balik antara hegemoni terpusat dan persaingan (63)

Kekuatan-kekuatan kapital menetapkan pengaruh aktifnya yang besar dalam waktu-waktu normal. Sedangkan negara memiliki kemampuan untuk mengarahkan energi-energi laten dari bawah sadar guna mendukung sosoknya sebagai orang-tua terutama selama masa perang (atau gangguan-gangguan internal terbuka) (63)

Dalam hal perpecahan antara wilayah-wilayah kekuasaan, cukuplah kalau dibuktikan keunggulan kapital di antara wilayah-wilayah itu, bukannya kediktatorannya. (63)

Raisons d'etre (alasan keberadaan)
Penyediaan hukum-hukum dan sanksi-sanksi, penyelenggaraan urusan-urusan militer, pelaksanaan upacara-upacara sekular dan relijius; penyelenggaraan pembangunan fasilitas umum dan monumen, pengumpulan informasi, penyelenggaraan kesejahteraan sosial – adalah tugas-tugas teknis dan organisasional negara apa yang membuatnya menjadi “politis” adalah bahwa tugas-tugas itu dilaksanakan dari tokoh-tokoh dan kelas-kelas penguasa.

Selasa, 30 Maret 2010

SEPAK BOLA DAN PENDIDIKAN

Sony Eko Setyawan



Siapa yang paling terakhir mati? Yang paling terakhir mati adalah harapan, begitu tulis Sindhunata suatu kali. Bola memang guru yang kejam dalam mengajari kita menghadapi kenyataan. Sungguh kita kecewa berat saat timnas kita terlalu sering gagal diberbagai ajang pertandingan.
            Inilah dunia bola, sebuah panggung yang disebut realisme-magis oleh Sindhunata. Bola itu bundar, seperti hidup ini yang sungguh dikuasai oleh hal-hal yang kebetulan, begitu menurut Heidegger. Nasib dalam sepak bola ditentukan oleh bergulirnya bola dalam sebuah pertandingan. Namun demikian bola juga mengajarkan bahwa hidup tidak berakhir hanya oleh kekalahan dalam sebuah pertandingan. Karena hidup manusia itu tersusun dari harapan ke harapan. Walaupun hidup manusia bergerak dari kegagalan ke kegagalan, toh ia tetap diperkenankan memandang ke masa depan.
            Namun demikian, filosofi tersebut tampaknya tidak meresap dalam “dunia pendidikan” kita. UN yang baru saja lewat seperti bertindak sebagai hakim nasib bagi semua siswa. Ia seperti penghancur harapan, hingga siswa yang gagal UN sampai ada yang bunuh diri. Apakah falsafah inti yang melandasi pola pendidikan kita sehingga sebuah UN menjadi kata akhir bagi siswanya? Bukankah seharusnya UN hanya menjadi salah satu bagian dari evaluasi (kinerja) belajar siswa?
            E.F Schumacher dalam bukunya, Kecil itu indah (Small is beautiful) menulis bahwa tujuan utama pendidikan adalah menyebarkan idea mengenai tata nilai, mengenai mau apa kita dengan hidup kita ini. Nilai-nilai ini tidak akan membantu kita menemukan jalan dalam penghidupan ini kecuali jika nilai-nilai ini telah menjadi milik kita sendiri, dalam arti telah menjadi bagian dari susunan mental kita. Ini berarti nilai-nilai itu bukan sekedar kaidah–kaidah atau pernyataan-pernyataan dogmatis belaka bahwa kita berfikir dan merasa dengan nilai-nilai itu, bahwa nilai-nilai itu adalah alat yang kita pergunakan untuk memandang, menafsirkan dan menghayati dunia.
            Sayangnya dunia pendidikan saat ini lebih mengacu pada target kelulusan dan indikator-indikator statistik lain. Ia juga sangat gandrung menjejali siswa dengan ilmu dan teknik (know how) tanpa membekalinya dengan kearifan dalam penggunaannya. Tidak heran bila kita tahu bagaimana mengerjakan banyak hal, tetapi tahukah kita apa yang sebenarnya kita lakukan?
            Tampaknya dunia bola lebih banyak memberi kita pelajaran bagaimana menghayati dunia dan realitas. Bola menyuguhkan kepada kita kegembiraan, kesedihan, kompetisi, kerjasama, konflik, kepaduan tim, transfer ilmu, taktik dan strategi, perjuangan dan spirit, juga kecurangan dan kepura-puraan. Kehidupan bukanlah kesempurnaan yang ideal. Tapi ia terus bergulir, mengalir, diantara kemenangan dan kekalahan, perjuangan dan harapan yang mengalir dan bergulir seperti bola.
            Bagi Sepp Herberger, pelatih legendaris yang berhasil membawa Jerman menjadi juara dunia 1954, pendidikan hanyalah menyumbang 1/3 keberhasilan; 2/3 lainnya ditentukan oleh perkawanan dan keberuntungan. Pendidikan dan training dilakukan secara kontinyu jauh sebelum pertandingan dimulai. Keberuntungan terjadi dilapangan hijau. Sedangkan perkawanan dibina diluar keduanya. Disini pelatih harus bisa mengumpulkan pemain-pemain yang siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawanya sendiri.
            Bila kita mau sedikit merenung, filosofi Herberger ini juga berlaku bagi kehidupan kita, baik dalam bidang olah raga,  bisnis, politik, pergaulan diplomatik internasional,dll. Kepercayaan menjadi kata kunci.kepercayaan tumbuh dari kejujuran atau hubungan keterbukaan yang dilandasi oleh komitmen dan tanggung jawab.
            Apakah dunia pendidikan kita mengjarkan tentang kejujuran, komitmen dan tanggung jawab yang oleh karenanya kepercayaan tercipta? Menurut Denni B. Saragih (Kompas, 16 Juli 2007) terdapat 14 dugaan kecurangan UN yang diinvestigasi Irjen. Disimpulkan adanya 25 modus operandi kecurangan, termasuk kecurangan yang melibatkan sub rayon dan seluruh kepala sekolah di sub rayon tersebut, serta pelanggaran prosedur operasional standar oleh dinas pendidikan.
            Dalam sepak bola, pluralitas adalah hidup. Tidak ada kebenaran tunggal dalam bola, kecuali aturan main bahwa bola itu disepak dan bukan dipegang lalu dibawa lari. Sportivitas dan fair play juga berlaku universal. Dalam sepak bola, tidak ada gaya bermain yang lebih benar dari gaya yang lain, tidak ada strategi yang unggul dari yang lain, tidak ada gaya pelatihan yang lebih murni dari yang lain. Dunia bola telah mengamini bahwa pluralitas adalah hidup, realitas tidaklah beku. Dan manusia pada hakekatnya terus dalam keadaan mencari untuk menjadi, dalam perjalanan hidup yang penuh liku seperti bola yang terus mengelinding.
            Timnas Indonesia pun mengajarkan pada kita bahwa ia tidak membedakan ras, suku agama dalam pemilihan pemainnya. Profesionalisme menjadi acuan dasar dan pluralitas mewarnai timnas kita. Masing-masing dengan posisi dan perannya, saling mengisi mengolah bola bundar untuk tujuan bersama, bukan ego pribadi. Kemenangan adalah milik bersama satu tim bukan hanya pencetak gol. Inilah egalitarianisme ala bola. Di lapangan bola, semua pemain harus siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawannya sendiri tanpa memandang perbedaan ketenaran, kekayaan, dll. Lapangan hijau memberi kita pesan, you are not measured by what you have (material) but what you do, your contribution to another and your team.
            Bola memberikan kepada kita “pendidikan” yang sering kali alpa dari bangku sekolah. Pendidikan yang menjadi alat untuk memandang, menafsirkan dan menghayati realitas kehidupan. Tidaklah pada tempatnya bola menggantikan bangku sekolah, tetapi mengapa tidak bila pendidikan lebih “bundar” hingga lebih dekat dengan realitas?

Senin, 29 Maret 2010

KREATIVITAS DAN KORUPSI

Ditengah keterpurukan yang berkepanjangan, Bangsa Indonesia terasa seperti kerupuk yang sedang masuk angin alias mlempem. Setiap kali diadakan survey tentang produktivitas atau daya saing juga kepastian hukum, kita selalu terpuruk. Namun tidaklah bijak bila mengatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tidak kreatif.

Seribu bukti bisa ditemukan, tersebar dari Sabang sampai Merouke, tentang daya kreativitas warga negara kita. Sebut saja Marjiyo dari desa Paten, Yogyakarta mulai menyeber ‘virus’ bercocok tanam organik untuk memutus ketergantungan terhadap pupuk buatan (Kompas, 10/12/05), atau Masrah dengan mobil marmut listiknya memulai kemandirian manufakturing otomotif (Kompas, 5/12/05), demikian juga Ayi Rohman dengan perpustakaan kecilnya di desa Arjasari, Jabar (Kompas, 28/11/05). Di dunia bisnis terdapat Rusdi Kirana, yang menebar deman low cost carrier di Indonesia dengan Lion Airnya, Hermawan Kertajaya menjadi pelopor marketing consultant di Indonesia, sedangkan di ranah manajemen spiritual terdapat Ary Ginandjar dengan ESQ-nya (Swa, 5/1/05). 

Tidak ketinggalan pula para pelaku ekspor fiktif, yang dengan menggunakan daya kreativitasnya memalsukan dokuman ekspor dan restitusi pajak, mereka juga mampu bekerjasama dengan oknum aparat sebagai sebuah ‘tim’. Belum lagi kreativitas para penyelundup, mulai dari pasir laut, kayu gelondongan, minyak mentah sampai satwa langka, yang konon nilainya mencapai ratusan trilyun (Kompas 16/2/03). Tengok pula kreativitas para bupati dalam mengejar dan mengelola dana alokasi umum (Kompas, 15/10/05). Namun, para ‘siluman’ perekayasa BLBI adalah yang terhebat. Saking hebatnya seperti atraksi sulap. Uang bertilyun-trilyun hadir dan menghilang begitu saja. Kemana perginya Cuma ‘tukang sulap’ BLBI yang tahu. Kita hanya mempu geleng-geleng kepala. Mereka semua hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak orang kreatif dan inovatif yang tersebar di seluruh Indonesia.

Anda mungkin tidak setuju, tatkala saya menyatukan para penyelundup dan parapesulap BLBI dengan pak Marjiyo atau Hermawan Kertajaya. Tidak apa, itu Cuma masalah sudut pandang. Yang ingin saya coba garis bawahi, bahwa Indonesia tidak kehilangan daya kreativitasnya. Entah itu berupa kreativitas produktif maupun kreativitas destruktif. Dari Sabang sampai Meruoke, dari pelosok desa sampai ke gedung pencakar langit di kota, daya kreativitas warga negara hadir dan terjadi setiap hari. Dan kita memiliki 200 juta penduduk, yang merupakan aset yang luar biasa besar- kalau kita bisa memberdayakannya secara maksimal.
Korupsi adalah salah satu bentuk kreativitas, yaitu kreativitas destruktif. Seseorang yang tidak kreatif dan atau tidak dipaksa untuk kreatif tidak akan melakukan korupsi. Kalau seseorang nrimo, apa adanya, menjalani tugas-tugas yang harus ia jalani dengan komitmen dan menikmati apa yang ia dapatkan sebagai ridho dari Allah, apa ia akan korupsi? Dan bukankah kreativitas muncul dari ketidakpuasan atau desakan kebutuhan dan tekanan lingkungannya?
Simaklah pernyataan seorang pegawai dalam pembukaan tulisan sdr Handrawan Nadesul (Kompas, 10/2/05). “Di zaman semakin sulit, apa masih mungkin hidup tanpa suap. Hampir semua pegawai perizinan, petugas imigrasi dan layanan publik doyan makan suap. Suap membantu hidup kalau gaji saja tidak cukup”.
Dari penyataan tersebut terurai bahwa korupsi telah menjadi praktek (kebiasaan) sehari-hari. Seperti halnya merokok, orang tahu bahayanya, namun tetap saja melakukannya. Semua orang tahu dan paham betul korupsi itu dosa dan merusak, namun tetap saja melakukannya. Mustahilkah memberantas korupsi?
Andai berandai, seandainya di negeri ini terdapat “Hakim Bao” dan para pembantunya yang sangat kompeten dalam menegakkan hukum dan keadilan, munkin kita harus membuat belasan hingga puluhan penjara baru. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang (koruptor) harus berdesak-desakkan dalam penjara, dari koruptor kelas ‘hiu’ sampai koruptor kelas’teri’. Dan apakah semua ini akan menyelesaikan masalah korupsi dengan tuntas? Ya, setidaknya selama ‘Hakim Bao’ masih menjabat, bila tidak? 

Bila korupsi adalah perilaku, maka kita harus menundukkannya dengan berbekal ilmu perilaku. Dalam perspektif behavioris, perilaku adalah fungsi dari konsekuensinya (Daniels, 2005). Jadi orang melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang terjadi pada orang itu ketika ia melakukannya. Disinilah keterkaitan antara budaya konsumtif materialistik dengan korupsi tergambar jelas. Bahwa budaya tersebut merupakan anteseden (latar belakang) terhadap perilaku koruptif. Dan orang yang bergaya hidup konsumtif materialistik memiliki kemungkinan yang tinggi melakukan korupsi. Tetapi tindakan tersebut tidak akan terjadi berulang-ulang bila konsekuensi yang terjadi setelah perilaku konsumtif tidak mendukung atau memberikan dorongan positif (menguatkan) perilaku tersebut. Dalam budaya konsumtif materialistik, the richman is a nobleman, status dan penghargaan sosial yang diterima seseorang karena kaya (entah asalnya dari mana) adalah salah satu penguat perilaku koruptif.

Tentu kita tidak menutup mata terhadap lemahnya sistem hukum dan sistem pengawasan pada birokrasi pemerintahan, yang memberi celah untuk perilaku koruptif tersebut. Lalu, mengapa hukum peradilan (walau bersih) kadang tidak efektif memberantas korupsi? Hal tersebut tidak lain karena lemahnya waktu yang dibutuhkan bagi seorang pelanggar (koruptor) dalam menjalani proses hukum. Sedangkan koruptor dapat menikmati hasil korupsinya secara pasti dan segera setelah ia melakukan tindak korupsi. Karena konsekuensi yang cepat dan pasti memiliki kekuatan (efektivitas) yang lebih baik dalam mengatur perilaku, maka proses hukum menjadi kurang efektif dalam memberantas korupsi.

Untuk memberantas korupsi, kita terlebih dahulu harus mengidentifikasi perilaku-perilaku koruptif dan menyusun konsekuensi untuk menghentikannya. Karena hukum tidak memberi tahu orang gambaran yang jelas tentang perilaku alternatif / jalan keluar dan hanya memberi tahu apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Maka kita harus mengidentifikasi perilaku-perilaku alternatif dan menyusun konsekuensi positif untuk mendorong perilaku anti koruptif tersebut.

Perilaku anti koruptif akan efektif apabila menghasilkan sesuatu yang positif bagi orang yang mengalaminya. Dorongan positif dan penghargaan social yang terus menerus dan merayakan pencapaian keberhasilan, sekecil apapun akan menguatkan usaha perubahan. Hal ini bersesuaian dengan sebuah pepatah dari Jepang, “Tetes hujan yang melimpah menghasilkan samudera”. Karena lingkungan (pekerjaan, teman kerja dan atasan, pergaulan dan keluarga) menghadirkan konsekuensi yang besar dan berpengaruh terhadap perilaku, ia dapat menjadi sumber dorongan positif yang kuat untuk perilaku anti korupsi. 

Semua ini tidak akan berarti bila tidak ada konsekuensi dan integritas dari pemimpin, mulai dari presiden sampai pemimpin tingkat local, pejabat-pejabat BUMN, birokrat,elit politik sampai pejabat hukum (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman). Bahwa kita sering menonton dan mendengar berbagai macam inkonsistensi antara ucapan dan jargon-jargon anti korupsi dengan tindakan pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, secara tidak sadar telah menciptakan dorongan positif / menguatkan perilaku koruptif. Toh, semua orang melakukannya, begitu kata angin. Demikian juga nasib buruk para whistle blower dalam upaya membongkar aksi korupsi, secara sadar atau tidak telah ‘menghukum’ perilaku anti korupsi.
Dorongan positif untuk perilaku anti korupsi tidak harus selalu berwujud materi. Penghargaan yang tulus baik secara personal maupun secara sosial dan diakuinya prestasi individu anti koruptif baik secara komunal, maupun secara nasional akan sangat berharga bagi penguatan gerakan anti korupsi. Kreativitas dalam mencari alternatif perilaku untuk menyalurkan daya kreativitas warganegara, baik untuk menghentikan perilaku koruptif maupun untuk perilaku kreatif-produktif sangatlah diperlukan. Inspirasi itu dapat berasal dari lingkungan kerja, rekan kerja dan atasan atau dari lingkungan pergaulan dan keluarga. 

Menautkan hati dengan hati adalah esensi dari pengelolaan manusia, untuk mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri seseorang. “Bersama kita bisa”, bolehlah diartikan sebagai menautkan hati dengan hati, saling memberikan dorongan positif untuk perilaku anti korupsi dan kreativitas-kreativitas yang produktif. Semoga kita bisa.

Oleh : Sony Eko Setyawan

PEMBERDAYAAN EKONOMI TERINTEGRASI


Pernahkah terlintas dibenak Anda, mahasiswa kita, baik S1 maupun S2, baru bisa memperoleh gelar sarjanannya setelah mengasah/menerapkan ilmunya di perusahaan UKM minimal 1 tahun ?
Ide ini mungkin terkesan janggal, tetapi bukannya tanpa dasar. Kenyataan bahwa terdapat missing link antara dunia pendidikan dengan dunia kerja tidak dapat ditutup-tutupi. Perusahaan-perusahaan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melakukan training bagi fresh graduate agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Disisi lain, setiap tahun jumlah pengangguran yang tidak terserap di dunia kerja jumlahnya semakin membengkak. Menjadi wirausahawan bisa jadi solusinya, tapi para sarjana ini banyak yang gamang untuk melakukannya.
Dengan mengasah ilmu di UKM, para calon sarjana tidak saja membantu pengusaha UKM memperbaiki kinerja UKMnya tetapi juga mengadaptasi ilmu dari bangku kuliah menjadi ilmu yang berdaya terap dan tepat guna. Dengan masuknya calon sarjana ini, diharapkan sistem pengelolaan di UKM menjadi lebih transparan sehingga sejak dini, UKM telah dilatih untuk menerapkan good corporate governance. Disisi lain, selain mengatasi masalah kurangnya pengalaman kerja.  Interaksi antara pengusaha UKM dan mahasiswa diharapkan mampu menginspirasikan mahasiswa untuk menjadi pengusaha. Interaksi ini juga diharapkan membentuk jalinan kepercayaan, sehingga kedepan jalinan bisnis dapat terjalin dengan lebih mudah dan lebih erat.
Tentu saja semua hal di atas tidak akan terwujud tanpa adanya jalinan kerjasama dari berbagai pihak. Yang pertama adalah jalinan kerjasama antara universitas atau fakultas dengan asosiasi atau jaringan UKM. Keduanya harus menyamakan pandangan sehingga terjalin hubungan yang terbuka, saling percaya dan sama-sama diuntungkan dengan adanya kerjasama ini. Jangan sampai terjadi masuknya mahasiswa di UKM dianggap sebagai intervensi dan menganggu jalannya perusahaan.
Garis besar teknisnya, calon sarjana ditempatkan di perusahaan UKM sesuai dengan kebutuhan UKM. Mahasiswa S1 ini dipekerjakan pada bagian tertentu, -sebut saja marketing- setelah itu mereka diharuskan untuk menganalisa problem pada bagian itu dari memberikan rekomendasi solusi yang realistis. Rekomendasi perbaikan tersebut didiskusikan bersama dengan pengusaha UKM untuk diterapkan. Oleh karenanya, rekomendasi tersebut harus benar-benar sesuai dengan kondisi UKM yang bersangkutan. Hasil penerapan rekomendasi solusi akan dievaluasi oleh tim dosen penilai dan akan mempengaruhi baik nilai IPKnya maupun kelulusannya. Calon sarjana ini tidak saja harus mempertanggung jawabkan hasil pemikiran dan tindakannya kepada tim penilai tetapi juga kepada pengusaha UKM. Hal ini, secara tidak langsung melatih sikap mental dan rasa tanggung jawab bagi calon sarjana.
Sedangkan mahasiswa S2 diharuskan untuk menganalisa secara komprehensif permasalahan sebuah UKM dan memberikan solusi yang komprehensif pula. Analisa tersebut mencakup pula strategi dan operasional. Hal ini dimaksudkan agar UKM yang ditangani menjadi lebih managable, kreatif, produktif dan profitable sehingga menghasilkan produk-produk yang marketable, bermanfaat nyata bagi konsumen, dan branded. Oleh karena cakupannya yang luas dan mendasar, diskusi intens dan saling percaya sangat dibutuhkan, agar rekomendasi benar-benar sesuai dengan kemampuan perusahaan. Hasil penerapan solusi akan dinilai oleh tim dosen penilai.
Jalinan yang kedua adalah lembaga perbankan dan lembaga pembiayaan non bank. Sangat mungkin hasil rekomendasi – terutama dari mahasiswa S2, mengingat luas cakupannya – mengharuskan perusahaan UKM untuk melakukan penambahan modal kerja atau melakukan investasi. Untuk itu pengusaha UKM dan mahasiswa S2 dapat menggunakan kredit ke bank atau membuka penawaran investasi kepada investor. Jalinan kerjasama antara universitas dan perbankan atau lembaga pembiayaan non bank diharapkan dapat mempermudah proses pembiayaan.
Mahasiswa S2 diberi tanggung jawab untuk turut mengontrol penggunaan dana tersebut agar benar-benar tepat sasaran. Dalam hal ini reputasi dan masa depan mahasiswa S2 turut dipertahankan. Karena berhasil tidaknya proyek dan penggunaan dana adalah hasil kolaborasi antara pengusaha UKM dan mahasiswa S2. bilamana terjadi NPL (non performing loan), maka mahasiswa S2 tersebut juga harus turut bertanggung jawab selama ia masih menangani UKM tersebut.
Dan tim dosen penguji pun harus dituntut kejeliannya, karena kerjasama ini melibatkan universitas/fakultas, dengan perbankan,UKM dan perusahaan skala besar sehingga reputasi universitas juga turut dipertaruhkan. Oleh karena itu, pembenahan di dalam tubuh UKM harus transparan dan menerapkan system good corporate governance  agar sistem pertanggung jawaban bekerja dengan baik sehingga memudahkan controling.
 Jalinan kerjaama yang  ke 3 adalah dengan perusahaan besar. Perusahaan besar diharapkan turut serta berperan aktif dengan menjadikan UKM binaan sebagai mitra kerja atau memberikan bantuan sebagai bukti kepeduliannya terhadap UKM. Bantuan tersebut bisa berupa pelatihan manajerial, quality control, maupun bantuan modal kerja. Disisi lain, jalinan universitas dan perusahaan besar dapat dipererat dengan mengambil lulusan terbaik hasil penggodokan di UKM untuk menjadi pegawainya. Hal ini dapat memberikan insentif yang kuat bagi para calon sarjana maupun calon pasca sarjana untuk berkarya lebih kreatif, produktif dan bertanggung jawab.
Jalinan kerja sama terakhir adalah dengan pemerintah. Keterlibatan pemerintah sangat dibutuhkan. Untuk menciptakan iklim usaha yang ramah bagi UKM. Peraturan-peraturan mengenai usaha, khususnya UKM, seyogyanya dibuat untuk memperlancar tumbuh berkembangnya UKM-UKM. Juga penanganan perizinan usaha seyogyanya bisa lebih ditingkatkan pelayanannya. Karena semakin baiknya kinerja UKM akan meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah.
Kesemuanya membentuk jalinan yang saling kait mengkait. Integrasi ini tidak saja memperbaiki sistem pemberdayaan UKM tetapi juga memberdayakan mahasiswa. Pihak universitas juga bisa membentuk start up center untuk mengakomodasikan keinginan para mahasiswa atau alumni yang ingin mendirikan usaha. Bantuan konsultasi, dan pembiayaan menjadi hal terpenting dalam start up center. Track record para mahasiswa dan alumni bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pembiayaan start up company yang diusulkan. Jalinan kerjasama antara universitas, dunia bisnis, perbankan dan pemerintah dapat sangat menolong para calon pengusaha dalam memulai usaha dan menjalin hubungan bisnis dengan banyak pihak.
Ide ini semoga membawa kesegaran, bahwasanya ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat Indonesia ini bangkit, bila kita benar-benar menginginkannya. Bahwa visi Indonesia jaya raya dan sejahtera bukanlah bualan dan dongeng semata. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.

Sony Eko Setyawan

Sabtu, 20 Maret 2010

SEPERTI BUMI

Ia diam tapi bergerak
Ia bergerak namun tetap
Ia tetap namun terus berubah
Ia dingin sekaligus panas
Ia mati namun terus bernafas
Ia terus berubah walau mati
Ia bukan prajurit namun punya perisai
Ia mengikat sekaligus diikat
Ia selalu memberi tiada pernah berhenti
Ia selalu melindungi walau yang dilindungi tidak tahu diri
Ia bukanlah benda yang sempurna namun diistimewakan
Ia tunjukkan kesempurnaan dalam kesederhanaan